Harga Tiket Bus Kompak Naik, Termahal Rp 675 Ribu, Termurah Rp 146 Ribu
Perusahaan otobus (PO) kompak menaikkan harga tiket dalam hitungan lima jam setelah pemerintah memberlakukan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perusahaan otobus (PO) kompak menaikkan harga tiket dalam hitungan
lima jam setelah pemerintah memberlakukan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Harga solar resmi naik dari Rp 5.150 menjadi Rp. 6.800 mulai Sabtu (3/9) pukul 14.30
WIB.
Fenomena kenaikan harga tiket bus bukan semata-mata tindakan untuk mengambil kesempatan.
Kebijakan perusahaan untuk menaikkan harga tiket hanyalah ujung gunung es yang terlihat.
Perusahaan bus telah bergulat dengan berbagai tantangan pascapandemi Covid-19, mulai dari rantai pasok suku cadang yang naik sehingga menyebabkan chassis bus untuk memulai peremajaan yang tertunda selama pandemi tak tersedia, dan kenaikan harga-harga lain akibat kelangkaan pasokan.
Kenaikan kumulatif tersebut berkisar antara 10-15 persen selama tahun 2021-2022.
"Harga ban yang saya beli sudah Rp 5,1 juta. Tanya supplier barang enggak ada, kalau pun ada harganya ya segitu. Kalau enggak ada ban, bus saya enggak jalan," ujar Angga Virchansa Chairul dari PO Naikilah Perusahaan Minang (NPM), Minggu(4/9).
Angga menambahkan, jika dihitung kebutuhan satu bus beserta ban cadangannya total terdapat tujuh ban.
Dengan harga Rp 5,1 juta per ban, maka setidaknya dibutuhkan biaya Rp 35,7 juta.
Angga, yang juga menjadi salah satu Ketua DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda) ini menyatakan, komponen ban tidak bisa diabaikan karena menyangkut keselamatan penumpang serta pengemudi.
"Bus saya satu kali keluar garasi Padang Panjang ke Jabodetabek atau Bandung hingga kembali lagi butuh waktu 48 jam dikalikan dua. Terbayang dong penggunaan bannya? Sekarang dengan kenaikan ini lengkaplah. Ban dan BBM sangat vital dalam operasional bus," tambahnya.
Pernyataan Angga disetujui Ketua DPD Organda Jepara, M. Iqbal Tosin.
Menurut Iqbal, perusahaan bus saat ini berada dalam posisi yang sulit untuk mempertahankan
usahanya di fase kedua pascapandemi Covid-19.
Pelaku bisnis di sektor ini diharuskan memutar otak dengan segala kenaikan dan kelangkaan suku cadang.