Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Terancam Kalah dalam Sengketa Ekspor Nikel di WTO, Perhapi: Indonesia Tidak Perlu Kuatir

Rizal Kasli mengatakan, apapun keputusan WTO, Indonesia tetap akan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Terancam Kalah dalam Sengketa Ekspor Nikel di WTO, Perhapi: Indonesia Tidak Perlu Kuatir
Kontan
Ilustrasi Bijih Nikel - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) akan terus mendukung pemerintah untuk melanjutkan hilirisasi nikel di tengah ancaman gugatan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) akan terus mendukung pemerintah untuk melanjutkan hilirisasi nikel di tengah ancaman gugatan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli mengungkapkan, apapun keputusan WTO, Indonesia tetap akan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri.

Menurutnya, jika nantinya Indonesia kalah atau harus kembali membuka keran ekspor nikel, masih banyak hal yang dapat dilakukan agar hilirisasi terus berjalan.

Baca juga: Bea Cukai Beri Izin Fasilitas Kawasan Berikat ke Perusahaan Pengolah Nikel

Indonesia tidak akan dengan mudah mengekspor bijih nikel yang saat ini menjadi incaran berbagai negara.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyampaikan bahwa Indonesia kemungkinan kalah atas gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO). Gugatan ini muncul atas sikap Indonesia melarang ekspor nikel mentah pada 2020.

“Kita diberi kelebihan dengan sumber daya yang ada. Sumber daya ini wajib digunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan bangsa dan negara," ungkap Rizal dalam keterangan yang diperoleh, Selasa (13/9/2022).

Berita Rekomendasi

"Jika pemerintah telah memberi sinyal nantinya akan menaikkan tarif ekspor bijih, itu hanya salah satu jalan agar ekspor bijih menjadi tidak menarik atau tidak menguntungkan. Namun masih ada beberapa langkah lainnya yang dapat dilakukan,” sambungnya.

Rizal melanjutkan, apapun keputusan WTO nantinya, yang paling harus dijaga adalah kepastian terhadap investasi yang ada saat ini.

Pemerintah harus mengamankan rantai pasok bijih nikel terhadap industri yang telah dan akan tumbuh, yakni pabrik peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery).

Selain meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) pemegang izin pertambangan.

Baca juga: Sebagai Penghasil Nikel Terbesar Dunia, Indonesia Harus Jadi Produsen Mobil Listrik

Pembatasan produksi dapat dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.

Selain itu, seperti yang telah dilakukan di batubara, pemerintah juga bisa menerapkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) bagi para pemegang izin produksi pertambangan nikel.

Menurut Rizal, ini wajib dilakukan guna memastikan kebutuhan negeri dapat terpenuhi. Hilirisasi nikel yang telah berjalan harus mendapatkan jaminan bahwa pabriknya tidak akan kekurangan pasokan.

“Berbagai kebijakan ini nantinya akan bermuara pada ekspor menjadi tidak menarik, dan industri yang telah tumbuh dipastikan akan terus tumbuh," papar Rizal.

"Di sisi lain, secara ekonomis, industri yang dekat dengan bahan baku akan lebih menguntungkan,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas