Pengamat Sebut Bank Indonesia akan Lanjutkan Normalisasi Suku Bunga untuk Kendalikan Inflasi
Harga komoditas energi dan pangan global terpantau masih terus mengalami fluktuasi, efek belum berakhirnya perang di Ukraina.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga komoditas energi dan pangan global terpantau masih terus mengalami fluktuasi, efek belum berakhirnya perang di Ukraina.
Chief Economist Bahana TCW, Budi Hikmat mengatakan, hal tersebut yang cenderung memicu inflasi akibat dorongan biaya (cost-push inflation) sangat mempersulit otoritas moneter dalam mengendalikan inflasi.
Tidak seperti inflasi karena tarikan permintaan (demand-pull inflation) yang terutama melalui penyaluran kredit, jenis cost-push inflation kurang tepat disikapi melalui pengetatan likuiditas seperti dengan menaikkan suku bunga.
Baca juga: Hadapi Inflasi Akibat Kenaikan Harga BBM, Bank Indonesia Diprediksi Kembali Naikkan Suku Bunga Acuan
Apalagi bila perekonomian baru lepas dari pandemi dan masih membutuhkan stimulus agar bisa tumbuh lebih gegas guna meningkatkan pendapatan masyarakat.
Budi melanjutkan, cost-push inflation umumnya menuntut peningkatan efisiensi penggunaan sumber energi dan dengan memacu produksi dalam negeri khususnya untuk komoditas yang diimpor.
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang pernah menggelar stimulus secara masif dan berlaku sebagai produsen vaksin, peningkatan suku bunga secara signifikan pada hakikatnya merupakan normalisasi suku bunga.
Pasalnya, suku bunga di kedua negara tersebut sudah cukup lama jauh lebih rendah ketimbang inflasi sementara kesempatan kerja relatif kuat seperti yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pengangguran.
"Jadi sangat wajar bila banyak yang kuatir keberhasilan the Fed dan ECB (Bank Sentral Eropa) mengendalikan inflasi harus ditebus dengan risiko resesi," ucap Budi dalam keterangan yang diperoleh, Rabu (21/9/2022).
Menanggapi inflasi di Indonesia, Budi melihatnya terbilang berbeda.
Ia mengungkapkan, Indonesia relatif diuntungkan oleh fenomena inflasi global mengingat kenaikan harga income commodity seperti batu-bara, nikel dan CPO melebihi cost-commodity khususnya minyak mentah.
Pada awalnya pemerintah mengendalikan transmisi inflasi global khususnya akibat kenaikan harga minyak mentah dengan terus meningkatkan alokasi subsidi energi hingga melebihi Rp500 triliun.
Pemerintah punya alasan untuk mengalokasikan subsidi untuk pos yang lebih produktif dan berkeadilan seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Budi juga mengapresiasi langkah Bank Indonesia dalam mengendalikan risiko inflasi sekaligus mengendalikan rupiah melalui berbagai macro-prudential policy seperti dengan menyerap kelebihan likuiditas yang digelontorkan sewaktu pandemi menyerang.