Harga Minyak Naik Menyusul Rencana Pengurangan Produksi dari OPEC+
harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November naik 65 sen atau 0,77 persen, menjadi 84,71 dolar AS per barel
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Muhammad Zulfikar
"Siprus dan Hungaria termasuk di antara negara-negara yang telah menyatakan penentangan terhadap proposal tersebut. Ada ekspektasi kesepakatan akan tercapai minggu ini tetapi sekarang tampaknya tidak mungkin," kata seorang analis di ANZ Research.
Beberapa bank investasi besar tetap bullish pada minyak mentah
Melansir dari Oil Price, bank investasi asal Amerika Serikat JPMorgan pada pekan lalu menulis dalam laporannya, harga minyak mentah Brent diperkirakan akan rebound ke 101 dolar AS per barel pada kuartal keempat tahun ini. Para analis di JPMorgan memperkirakan pasokan yang lebih ketat akan mendukung kenaikan harga minyak.
Goldman Sachs bahkan lebih bullish. Tiga minggu yang lalu, analis di bank investasi ini mengatakan Brent bisa naik hingga 125 dolar AS per barel di tahun depan.
Morgan Stanley lebih sederhana dalam mengungkapkan ekspektasi harga minyak. Menurut bank investasi ini, harga minyak mentah Brent akan diperdagangkan pada 95 dolar AS per barel di kuartal terakhir tahun ini. Harga tersebut merupakan hasil pemangkasan dari prospek sebelumnya, yang terjadi dua minggu lalu, didorong oleh meningkatnya kekhawatiran resesi.
Baca juga: Harga Minyak Naik di Tengah Kekhawatiran Penurunan Permintaan dan Kenaikan Suku Bunga
Bank investasi asal Swiss UBS Group AG juga merevisi ekspektasi harga minyak awal bulan ini, yang lagi-lagi dikarenakan meningkatnya kekhawatiran resesi serta berlanjutnya aliran minyak Rusia ke importir Asia. Revisi tersebut membawa Brent ke 110 dolar AS per barel, dengan analis mencatat "itu bisa naik menjadi 125 dolar AS" pada akhir kuartal ketiga tahun 2023.
Menurut UBS, harga minyak tidak akan rebound karena pemulihan ekonomi global. Namun rebound dapat terjadi karena permintaan yang lebih besar untuk produk minyak yang digunakan dalam pembangkit listrik, serta pasokan minyak di pasar global lebih ketat akibat AS mengakhiri program penjualan minyak Cadangan Minyak Strategis (SPR).
Selama kuartal ini, harga minyak telah merosot sebesar 20 persen, menurut laporan Bloomberg. Alasannya, sekali lagi tidak ada hubungannya dengan dinamika penawaran dan permintaan di pasar minyak.
Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan bank sentral di seluruh dunia, khususnya langkah agresif Federal Reserve AS (The Fed) untuk mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, yang telah mendorong dolar jauh lebih tinggi sehingga membuat harga komoditas dalam mata uang dolar AS lebih mahal.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.