Stimulus Fiskal dan Kenaikan Suku Bunga Bertahap Dinilai Kunci Hadapi Krisis Ekonomi Global
Pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal untuk melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan bantalan sosial (bansos).
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan kondisi badai global disebabkan krisis pangan dan energi yang dipicu konflik Rusia-Ukraina.
Indonesia pun tidak lepas dari imbas ketidakpastian global, di mana yang paling terasa adalah kenaikan harga bahan bakar minya (BBM).
"Pertama, dari komoditas pasti akan bergejolak harganya. Saya kira Rusia-Ukraina masih akan berlanjut sampai 2023. Karena perkiraan perangnya lama. Tentunya harga komoditas dan beberapa komoditas utama seperti bahan pangan, energi, minyak, gas itu tinggi. Jadi dampaknya ke kita, potensi inflasi dari BBM masih menghantui," katanya, Jumat (30/9/2022).
Oleh sebab itu, menurut Tauhid, pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal untuk melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan bantalan sosial (bansos).
Baca juga: Ada Ancaman Resesi Global, Jokowi Minta Duit APBN Dieman-eman
"Apa yang harus dilakukan? Ya, pemerintah harusnya dengan stimulus fiskal. Bantalan subsidi pasti harus diperlukan," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan tanggal 5 September 2022. Total alokasi dana mencapai Rp2,17 triliun.
Selain kebijakan fiskal dalam bentuk bantalan sosial, pemerintah juga patut memperhatikan suku bunga acuan. Menurut Tauhid, upaya Bank Sental AS dalam menaikkan suku bunga guna menekan angka inflasi yang mencapai 8,5 persen juga membawa dampak pada Indonesia.
"Untuk mengatasi terjadinya inflasi yang tinggi di Amerika, sekitar 8,5%, The Fed akan menaikkan suku bunga bahkan hampir sampai 4% lebih. Dampaknya adalah akan terjadi capital outflow terbesar. Ini ancamannya nilai tukar rupiah kita juga akan semakin melemah," ucapnya.
Merespons kebijakan The Fed dan kondisi global, Tauhid menyarankan pemerintah memberlakukan kebijakan moneter secara bertahap dalam menaikkan suku bunga. Beberapa saat lalu, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 4,25%.
"Apa yang dilakukan? Mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan suku bunga BI Rate, kemarin kan 4,25%. Kemungkinan juga akan naik lagi. Memang dampaknya pasti suku bunga perbankan juga akan naik sampai 3-6 bulan ke depan," ujarnya.
Tauhid mengungkapkan kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh cost of fund pada sektor riil akan ikut terdongkrak.
Hal itu akan menggangu para pelaku usaha. Mereka tidak bisa leluasa ekspansi ketika suku bunga terlalu tinggi. Oleh sebab itu, Tauhid menyarankan pemerintah tidak menaikkan BI Rate secara mendadak, tetapi melakukan revisi secara bertahap.
Baca juga: BI Diperkirakan Naikkan Suku Bunga Lagi Hingga Capai 5 Persen di Akhir 2022
"Karena itu kenaikan suku bunga harus secara bertahap. Sehingga para pelaku usaha bisa menyesuaikan diri. Itu harus dilakukan. Dampaknya juga suku bunga sektor riil. Mau tidak mau pemerintah harus bisa mengomunikasikan ke perbankan agar relatif jangan terlalu cepat juga menaikkan suku bunga, agar sektor riil bisa menyesuaikan," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kebijakan bank sentral di seluruh dunia dalam menaikkan suku bunga secara agresif adalah upaya meredam inflasi yang sudah terlalu tinggi.
Saat ini, sejumlah negara menghadapi risiko ledakan inflasi karena meningkatnya harga komoditas pangan hingga energi.
"Inflasi menjadi musuh terbesar dunia sekarang," tegas Ketua Umum Golkar itu, Jumat (30/9/2022).