Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kisah I Gede Rediawan Menyulap Limbah Kaca Bekas Jadi Kerajinan Kaca Tiup Beromzet Ratusan Juta

Ide bisnis kaca tiup ini didapat Rediawan dari perkenalannya dengan seorang Warga Negara Jepang.

Penulis: Dodi Esvandi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Kisah I Gede Rediawan Menyulap Limbah Kaca Bekas Jadi Kerajinan Kaca Tiup Beromzet Ratusan Juta
Dodi Esvandi
I Gede Rediawan, pemilik galeri seni bernama St Factory Blowing Glass di kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dodi Esvandi

TRIBUNNEWS.COM, UBUD - Ini adalah cerita seorang pria yang berhasil menyulap limbah kaca yang sudah tak berguna menjadi berbagai barang kerajinan beromzet ratusan juta rupiah per bulan.

Pria tersebut bernama I Gede Rediawan. Ia adalah pemilik galeri seni bernama St Factory Blowing Glass di kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Galeri seni milik Rediawan bukan galeri seni biasa. Di galerinya yang cukup asri itu, pria 39 tahun tersebut menyulap limbah kaca yang tak berguna menjadi aneka kerajinan kaca tiup.

Kaca tiup merupakan sejenis wadah kaca yang dalam proses pembuatannya ditiup, sehingga menyesuaikan dengan wadah kayu di bawahnya.

Baca juga: Forum GPDRR 2022 Peluang Promosikan UMKM Bali ke Pasar Global

Kaca tiup ini bisa digunakan sebagai aquarium mini, tempat buah, hingga tempat tanaman hias.

Rediawan memulai usaha kaca tiup sekitar 5 tahun yang lalu.

Berita Rekomendasi

Jauh sebelumnya sekitar 15 tahun yang lalu, ia menggeluti usaha kaca mozaik yang ketika itu sedang booming.

Seiring meredupnya permintaan kaca mozaik, Rediawan kemudian mulai mencoba membuat aneka kerajinan kaca tiup.

Ide bisnis kaca tiup ini didapat Rediawan dari perkenalannya dengan seorang Warga Negara Jepang.

Warga Jepang yang tengah berlibur ke Bali itu sudah lebih dulu memiliki usaha kaca tiup di negaranya.

Dengan sedikit modifikasi, Rediawan kemudian mulai mencoba membuat kaca tiup.

Modalnya adalah aneka limbah kaca yang sudah tak terpakai, mulai dari botol bir bekas, kaca-kaca pecah bekas bangunan, dan berbagai limbah kaca lainnya.

Limbah kaca tersebut dibelinya seharga Rp1.000 per kilogram.

Setelah dibersihkan, limbah kaca itu kemudian dilebur pada suhu 1.600 derajat celcius.

Setelah mencapai titik lebur, kaca itu kemudian mulai diproses menjadi berbagai bentuk barang kerajinan dengan cara ditiup.

Segumpal cairan kaca diambil kemudian dimasukkan ke dalam alat yang biasa disebut “mal” sambil ditiup dan diputar-putar.

kaca tiup
Seorang pekerja memulai proses pembentukan barang kerajinan dari bahan kaca dengan cara ditiup.

Setelah terbentuk benda yang diinginkan kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven pendingin hingga semalaman.

Beda kaca tiup yang dibuat Rediawan adalah ada tambahan wadah kayu di bawahnya.

Wadah kayu itu menjadi alas, sementara bentuk kacanya menyesuaikan dengan wadah kayu tersebut.

Sama seperti kacanya, kayu yang menjadi alas itu juga merupakan barang bekas alias limbah kayu.

Bermodalkan Rp50 juta pinjaman dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM), usaha kaca tiup milik Rediawan kini mampu meraih omzet ratusan juta per bulannya.

Aneka produk kerajinan kaca tiup itu juga sudah diekspor ke berbagai negara.

Berbagai produk kaca tiup itu dijual dengan harga paling murah Rp50 ribu dan yang termahal mencapai Rp15 juta.

produk kaca tiup
Pekerja sedang merapikan berbagai produk kaca tiup. Produk itu dijual dengan harga paling murah Rp50 ribu dan yang termahal mencapai Rp15 juta.

"Saat ini permintaan terbanyak dari Eropa. Pengiriman barangnya sekitar dua kontainer per bulan," kata Rediawan, Rabu (12/10/2022).

Selain pinjaman modal, Rediawan mengaku juga mendapat berbagai bantuan dari PMN, mulai dari pelatihan memasarkan barang lewat sosial media, diajak ke berbagai pameran, dan berbagai pelatihan lainnya.

"Semua pelatihan itu gratis, diberikan cuma-cuma," kata Rediawan.

Berkat pinjaman modal dan bimbingan dari PMN itu, usaha Rediawan berkembang pesat.

Saat ini ia sudah memiliki 60 karyawan.

"Padahal saat memulai usaha ini saya hanya dibantu istri dan 3 karyawan," kata Rediawan

Omzet usahanya juga meningkat, hingga mencapai Rp300 juta.

Memang sejak pandemi terjadi penurunan.

Hal itu kata Rediawan terjadi karena berbagai faktor, terutama karena naiknya biaya ongkos kirim ke luar negeri.

Baca juga: Penguatan UMKM Diharapkan Bisa Meningkatkan Stabilitas Ekonomi di Tengah Ancaman Resesi

"Permintaan sekarang agak lesu. Sebelum pandemi sampai pandemi permintaan lumayan banyak. Namun setelah new normal justru menurun karena biaya kirimnya yang mahal. Ditambah pula sekarang (harga) gasnya juga mulai meningkat,” ucap Rediawan.

Di sisi lain PMN sebagai pihak yang memberikan bantuan permodalan berjanji juga akan membantu nasabahnya itu menghadapi krisis global dan segala dampaknya.

“Nasabah kami perlu bekal namanya financial planning. Karena kita nggak tahu nih krisis global kan efeknya dengan prediksi para pengamat ekonomi ngeri sekali. Antisipasinya itu kita mau berikan kepada nasabah,” ucap Pemimpin Cabang PNM Denpasar-NTT, Tatang Setiyono.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas