BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Darmadi Durianto: Harus Dibarengi Reformasi Kebijakan Fiskal
Kenaikan suku bunga acuan memberikan efek daya beli masyarakat akan cukup terguncang.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Krisis finansial hingga resesi global kini tengah jadi ancaman serius negara-negara di dunia. Kondisi demikian membuat sejumlah negara-negara di dunia termasuk Indonesia melakukan berbagai langkah antisipatif guna meredam badai krisis menghampiri negaranya.
Terbaru otoritas fiskal Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia (BI) melakukan upaya antisipatif dengan mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (DRRR) sebesar 50 basis poin atau 0,50 persen menjadi 4,75 persen.
Pakar Ekonomi dan Hukum dari Wiyatamandala School of Business, Darmadi Durianto, menilai kebijakan menaikkan suku bunga acuan yang dilakukan BI perlu dilihat dari beberapa hal.
Baca juga: Jaga Rupiah dan Inflasi, Bank Indonesia Kembali Naikan Suku Bunga Acuan Menjadi 4,75 persen
"Pertama, ketika suku bunga acuan dinaikkan efek daya beli masyarakat akan cukup terguncang. Tentu ini perlu pemerintah kalkulasi potensi pelemahan daya beli masyarakat di satu sisi. Kedua, kenaikan suku bunga acuan perlu dibarengi dengan kebijakan yang berpihak pada kepentingan ekonomi rakyat. Tak cukup hanya meredam gejolak di pasar keuangan dengan menaikkan suku bunga acuan, tapi ada sektor lain yang juga perlu diperhitungkan risikonya saat suku bunga acuan naik," kata Darmadi kepada wartawan, Jumat (21/10/2022).
"Pemerintah dan BI mesti melakukan kolaborasi kebijakan secara terukur agar kebijakan tersebut tidak berdampak serius," tambah Pakar Ekonomi Kerakyatan itu.
Jika merujuk pada hasil penelitian Ben Bernanke, Douglas Diamond dan Philip Dybvig peraih Nobel ekonomi tahun ini, Darmadi mengatakan, sistem keuangan konvensional menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis keuangan.
"Mengapa? Apa yang dikatakan para peraih Nobel itu cukup logis di mana kultur debitur dan kreditur cukup berbeda. Kreditur ingin dananya cepat berputar sedangkan debitur maunya tunggakan diperpanjang. Jelas suku bunga acuan yang dinaikkan BI ini akan mengarah ke situ. Ini harus kita waspadai sejak dini," ucap pria yang juga merupakan Anggota Komisi VI DPR RI itu.
Menurutnya, guna meredam gejolak inflasi dan resesi pemerintah dan BI mestinya melakukan reformasi kebijakan fiskal.
"Apa yang dikatakan para peraih Nobel ekonomi tahun ini mestinya jadi refleksi kita semua. Bagaimana sistem keuangan konvensional selama ini ternyata mengandung high risk," harapnya.
Darmadi menegaskan, menghadapi ancaman krisis keuangan, hal pertama yang harus dibenahi terlebih dahulu yaitu sektor perbankan.
"Seperti yang diteliti Bernanke bahwa keruntuhan bank dapat memicu krisis keuangan, bank rush adalah alasan yang menentukan krisis menjadi begitu parah dan mengakar," urainya.
Sekali lagi, Darmadi menegaskan, kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak ke mana-mana.
"Termasuk ke perputaran kredit akan melambat. Padahal perputaran kredit adalah ruh atau fondasi utama bergeraknya roda perekonomian suatu negara. Jika sektor kredit stuck jelas ini alarm bagi kita semua," ujarnya.
Untuk itu, Darmadi menyarankan, pemerintah perlu mengeluarkan formulasi kebijakan yang berbasis pada ketahanan ekonomi rakyatnya.