Kesepakatan Just Energy Transition Partnership Jadi Ambigu Setelah Terbit Perpres 112/2022
Kesepakatan JETP masih ambigu karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 tahun 2022 masih melegitimasi dan mengamankan pembangunan PLTU batu bara
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang tercipta saat KTT G20 masih meninggalkan pertanyaan besar.
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry menyebut kesepakatan JETP masih ambigu karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 tahun 2022 masih melegitimasi dan mengamankan pembangunan PLTU batu bara di pipeline.
"Di pipeline maksudnya yang entah belum selesai pendanaannya atau belum dioperasikan. Masih banyak yang di pipeline. Lalu PLTU yang ada di RUPTL 2021-2030," ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (17/11/2022).
Sedangkan kesepakatan yang ada di JETP adalah membekukan PLTU di pipeline. Lalu, mendorong agar morotarium pembangunan PLTU batu bara terjadi.
"Membekukan ini maksudnya apa? Apakah pembangunan PLTU sebesar 13,8 GW tidak jadi dibangun? Atau jumlahnya tidak akan bertambah? Itu masih ada kalimat yang ambigu di kesepakatan JETP kemarin," kata Ahmad.
Ia mencurigai Perpres No. 112 tahun 2022 sebagai landasan hukum JETP.
Dikarenakan terciptanya Perpres tersebut tepat sebelum G20 atau dalam momen-momen sebelum pertemuan KTT itu digelar.
"Ini jadi legitimasi PLTU batu bara tetap dibangun," ujar Ahmad.
Apabila tak kunjung ada pembaruan dalam Perpres tersebut, ruang bagi energi terbarukan akan menjadi kecil.
Jumlah PLTU batu bara yang dipensiunkan akan bertambah dari sebelumnya.
"Padahal kita tahu imperatifnya banyak. Krisis iklim dan stranded asset. Jadi, kita bangun untuk rugi itu aneh. Ini keputusan macam apa?" Kata Ahmad.
Sebelumnya, Indonesia bersama sekelompok negara maju telah menyepakati skema pendanaan transisi energi pada saat KTT G20.
Skema itu bernama Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).