Pemerintah Ambisius Pertumbuhan Ekonomi RI 2023 Sebesar 5,3 Persen, Bank Dunia Ramal Tak Tercapai
Pelemahan permintaan global, terutama dari sisi komoditas akan menekan kinerja ekspor Indonesia pada tahun depan.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
"Harga makanan dan bahan bakar yang lebih tinggi menggerus daya beli, dengan dampak yang berbeda-beda di seluruh kelompok pendapatan," ucap Satu.
"Harga makanan naik 7,9 persen yoy pada bulan September 2022. Hal ini diperkirakan akan mengurangi konsumsi swasta sebesar 3,7 persen untuk kelompok 40 terbawah dan 2,8 persen untuk kelompok 20 teratas," pungkasnya.
Ambisius
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui target pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,3 persen, merupakan angka yang ambisius.
Hal ini mengingat berbagai risiko global yang dapat menganggu perekonomian.
"Tantangan kita di tahun depan, pertumbuhan ekonomi 5,3 persen itu sangat ambisisus, pada saat faktor-faktor, terutama global bisa memperlemah ekspor, investasi, dan konsumsi," ujar Sri Mulyani yang dikutip dari Kompas dalam Rapimnas Kadin 2022 di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (2/12/2022).
Menurutnya, kondisi global sangat dinamis, setelah sebelumnya dihadapkan tantangan pandemi, kini bergeser ke tantangan sektor keuangan.
Situasi yang terjadi di global memiliki relevansi yang besar terhadap perekonomian Indonesia.
Permasalahan pandemi, perubahan iklim, dan geopolitik yang terjadi di global membuat disrupsi rantai pasok sehingga menimbulkan lonjakan harga pangan, pupuk, dan energi.
Baca juga: Presiden Bilang, Pertumbuhan Ekonomi di Maluku Utara Tertinggi di Dunia, Ini Penyebabnya
Terutama akibat perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan terjadinya krisis pangan dan energi.
Pada akhirnya, lonjakan harga pangan dan energi itu mengerek tingkat inflasi global, terutama di negara-negara maju. Maka bank-bank sentral pun merespons dengan kebijakan pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga acuan guna menekan laju inflasi.
Imbasnya, terjadi capital outflow atau keluarnya modal asing dari negara-negara emerging market, termasuk Indonesia, ke negara maju khususnya Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini pula yang membuat dollar AS menguat atas seluruh mata uang di dunia.
"Kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas dollar, euro menyebabkan aliran modal asing keluar, dan menimbulkan dampak ke nilai tukar rupiah," kata Sri Mulyani.