Alasan Pemerintah Larang Pedagang Jual Rokok Batangan, Berikut Pro dan Kontranya
Larangan tersebut bakal dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah(PP) yang bakal disusun pada tahun 2023 mendatang.
Editor: Hendra Gunawan
Kenaikan cukai rokok tersebut akan berimbas kepada harga eceran rokok mulai Januari
2023.
"Menyiksa untuk orang yang kurang punya uang banyak. Apalagi harga rokok per bungkusnya dinaikin lagi. Makin mahal," seru Edho.
Tak hanya pendapat kontra, Aziz (30) justru malah mendukung adanya aturan larangan pembelian rokok batangan.
Bukan tanpa alasan, menurutnya kebijakan tersebut bakal menekan jumlah perokok usia muda di bawah 17 tahun.
Menurut Aziz, pembelian rokok batangan secara bebas justru semakin meningkatkan minat anak-anak untuk merokok.
"Kalau saya setuju dengan adanya aturan tersebut. Biar bocah kecil enggak pada ngerokok. Kalau beli per batang kan mereka (anak-anak) jadi mampu beli," papar Aziz.
"Nah nanti kan kalau beli per bungkus, anak-anak jadi susah beli, soalnya mahal,"
pungkasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menanggapi rencana larangan penjualan rokok eceran. Menurutnya, kebijakan itu patut diapresiasi mengingat hal tersebut dinilai mampu mengendalikan prevelensi merokok khususnya bagi kalangan remaja dan rumah tangga miskin.
"Larangan penjualan rokok secara ketengan, ini kebijakan yang patut diapresiasi, karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak anak dan remaja," kata Tulus.
Baca juga: Mulai 1 Januari 2023, Pedagang Dilarang Menjual Rokok Per Batang
Dikatakan Tulus, larangan penjualan ketengan juga efektif untuk efektivitas kenaikan cukai rokok. Sebab kata dia, saat ini kenaikan cukai dinilai tidak efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok.
“Karena rokok masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau,” tegasnya.
Tulus mengatakan, larangan penjualan rokok secara ketengan juga sejalan dengan spirit yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
“Dalam UU Cukai disebutkan bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negative terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi,” ucapnya.
Meski demikian, Tulus menegaskan, pemerintah perlu memastikan kebijakan itu dilakukan dengan bijak agar tidak hanya menjadi sebuah larangan semata.