Xi Jinping Prediksi PDB China Tahun 2022 Tembus 17,4 Triliun Dolar AS
Ekonom umumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi China merosot menjadi 2,7 persen hingga 3,3 persen di 2022.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, HONG KONG - Presiden China Xi Jinping memperkirakan ekonomi China tumbuh sebanyak 4,4 persen sepanjang tahun 2022, angka yang jauh lebih kuat dibandingkan perkiraan banyak ekonom.
Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan China pada 2022 diperkirakan telah melampaui 120 triliun yuan atau sekitar 17,4 triliun dolar AS, kata Xi dalam pidato Malam Tahun Baru yang disiarkan pada Sabtu (31/12/2022).
Ekonom umumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi China merosot menjadi 2,7 persen hingga 3,3 persen di 2022. Pemerintah China telah mempertahankan target pertumbuhan tahunan yang jauh lebih tinggi sekitar 5,5 persen.
“Ekonomi China tangguh dan memiliki potensi dan vitalitas yang baik. Fundamental jangka panjangnya tetap tidak berubah. Selama kita percaya diri dan mencari kemajuan dengan mantap, kita akan dapat mencapai tujuan kita,” kata Xi dalam pidatonya, yang dilansir dari CNN.
Ekonomi China terpukul oleh penguncian atau lockdown Covid- yang meluas dan penurunan sektor properti pada tahun lalu.
Pada tahun ini, pembuat kebijakan China telah berjanji untuk menemukan solusi terkait permasalahan ekonomi di negara tersebut.
Pembuat kebijakan China bertaruh bahwa akhir dari kebijakan nol-Covid dan serangkaian langkah dukungan untuk sektor properti akan menghidupkan kembali konsumsi domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, ledakan kasus Covid-19 yang dipicu oleh pelonggaran pembatasan pandemi secara tiba-tiba pada awal Desember, mengaburkan prospek tersebut. Negeri Tirai Bambu sedang berjuang melawan wabah Covid-19 terbesar yang pernah ada.
Baca juga: Inflasi China Diprediksi Akan Melebihi 3 Persen
Pekan lalu, Beijing mengumumkan akan mengakhiri persyaratan karantina untuk kedatangan internasional mulai 8 Januari, menandai langkah besar menuju pembukaan kembali perbatasannya.
Pengakhiran pembatasan Covid-19 yang tiba-tiba membuat banyak orang di negara itu lengah dan memberikan tekanan besar pada tenaga kesehatan di China.
Penyebaran virus corona yang cepat membuat banyak orang tetap berada di dalam rumah dan menghindari mengunjungi toko dan restoran. Pabrik -pabrik di China terpaksa tutup atau memangkas produksi karena pekerjanya sakit.
Baca juga: Inflasi China Menurun 2,1 Persen di Tengah Pengetatan Lockdown Covid-19
Data utama yang dirilis pada Sabtu menunjukkan aktivitas pabrik di negara itu mengalami kontraksi di Desember dengan laju tercepat dalam hampir tiga tahun terakhir. Indeks manajer pembelian manufaktur resmi (PMI) merosot ke 47 pada bulan lalu dari 48 di November, menurut data Biro Statistik Nasional China.
Angka tersebut adalah penurunan terbesar sejak Februari 2020 dan juga menandai kontraksi bulan ketiga berturut-turut untuk PMI China. Angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur menyusut.
PMI non-manufaktur, yang mengukur aktivitas di sektor jasa, turun menjadi 41,6 pada bulan lalu dari 46,7 di November, yang menjadi level terendah dalam hampir tiga tahun terakhir.
Baca juga: Inflasi China Meningkat 2,7 Persen, Tertinggi Sejak 2 Tahun Terakhir
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif," kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva.
“Dampaknya terhadap kawasan akan negatif. Dampaknya terhadap pertumbuhan global akan negatif,” sambungnya.
Analis juga memperkirakan ekonomi China akan menghadapi awal yang bergelombang pada 2023, dengan kemungkinan kontraksi pada kuartal pertama, karena lonjakan kasus COVID-19 mengurangi pengeluaran konsumen dan mengganggu aktivitas pabrik.
Namun, beberapa analis memperkirakan ekonomi akan pulih setelah Maret, karena orang belajar hidup berdampingan dengan Covid-19. Banyak bank investasi sekarang memperkirakan pertumbuhan China 2023 menjadi 5 persen.