Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Perppu Cipta Kerja: Jalan Tengah Hadapi Resesi atau Muluskan Kepentingan Investasi?

Perppu ini diyakini oleh pemerintah sebagai satu di antara langkah untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi global, agar meminimalisir potensi resesi

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Perppu Cipta Kerja: Jalan Tengah Hadapi Resesi atau Muluskan Kepentingan Investasi?
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ratusan massa gabungan buruh dan mahasiswa kembali melakukan demonstrasi di sekitar patung Arjuna Wijaya Jakarta 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penghujung tahun 2022 diramaikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Perppu ini diyakini oleh pemerintah sebagai satu di antara langkah untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi global, agar bisa meminimalisir potensi terjadinya resesi ekonomi di Indonesia.

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Co-Founder Institute for Justice and Constitutional Ethics Juhaidy Rizaldy Roringkon mengatakan, memang hal wajar jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu.

Baca juga: Resolusi 2023: Jokowi Harap Indonesia Tidak Terimbas Resesi Global

"Sebab dalam Undang-Undang Dasar 1945, Presiden mempunyai hak dalam hal kegentingan yang memaksa dapat menetapkan Perppu," ujar Rizaldy dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023).

Menurut dia, hal menariknya bukanlah hak Presiden tersebut yang akan dibahas kali ini, tapi latar belakang dari terbitnya Perppu dan politik hukumnya harus dicermati oleh semua lapisan masyarakat.

"Semoga latar belakang lahirnya Perppu ini sejalan dengan niat mulia pemerintah untuk menghadapi bayangan resesi ekonomi. Akan tetapi jika menelisik lebih jauh, Perppu ini bisa dikatakan Perppu Resesi Ekonomi," katanya.

Berita Rekomendasi

Perppu ini dinilainya hanya berganti baju saja, di mana semua substansi sama dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, karena hanya ada beberapa perbaikan teknis dan penyesuaian yang tidak signifikan.

Selain itu, juga dibandingkan dengan Perppu Covid-19 yang sebenarnya tujuannya sama untuk kepentingan ekonomi.

Terutama bagaimana menghadapai Covid-19 dan tetap mempertahankan kondisi perekonomian Indonesia agar tetap kuat dan stabil.

Baca juga: Hadapi Ancaman Resesi, Masyarakat Diimbau Naikkan Porsi Investasi Emas

Namun jika dilihat konsep besarnya, terlepas dari perdebatan latar belakang Perppu ini, pemerintah dinilai memiliki tren untuk menggunakan instrumen hukum yang tidak biasa atau hanya digunakan dalam keadaan tertentu/darurat.

"Dalam hal ini, Perppu sebagai jalan tengah untuk menghadapi masalah yang akan dihadapi atau sedang dihadapi," tutur Rizaldy.

Kemudian jika diltelisik lebih jauh, sebenarnya konsep Perppu dalam perspektif Hukum Tata Negara Darurat memiliki dua makna, yaitu Perppu dalam keadaan biasa dan Perppu dalam keadaan darurat.

Jika dilihat Perppu Nomor 2 tahun 2022 ini, lanjutnya, adalah Perppu dalam keadaan biasa dengan baometernya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.

Tetapi jika Perppu dalam keadaan darurat itulah dapat menabrak semua aturan yang ada, dapat menyampingkan hak-hak warga negara, dan harus ada deklarasi dari Presiden sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan bahwa Indonesia memasuki keadaan darurat.

Baca juga: Ekonom: Fundamental Ekonomi Indonesia Kurang Kuat Hadapi Resesi Ekonomi

"Di sisi lain, meskipun hanya ganti baju saja, keberhasilan Undang-Undang Cipta Kerja juga kita harus apresiasi dengan semangat reformasi birokrasi dalam berbagai aspek pemerintahan, kemudahan pengurusan perizinan berusaha, sehingga memudahkan berbagai UMKM dan pengusaha pemula. Meskipun begitu, banyak hal yang harus dibenahi seperti sektor izin lingkungan dan lainnya," ujarnya.

Tidak hanya itu, terdapat anggapan adanya legitimasi bagi kepentingan pengusaha besar dengan adanya UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja ini.

Khususnya dalam hal pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat, dan percepatan proyek strategis nasional.

Rizaldy menilai hal ini yang harus diperjelas oleh pemerintah, sehingga tidak menjadi isu yang simpang siur, karena kepentingan negara harus di atas kepentingan kelompok atau golongan.

Baca juga: Swedia Diprediksi Masuk ke Jurang Resesi Hingga 2024

"Pemerintah memang cukup responsif dalam melakukan berbagai kebijakan, tetapi harus mempunyai grand desain, di antaranya penataan sanksi yang hari ini hanya berpatokan terhadap pidana dan administrasi. Tetapi, ada yang lebih konsep besar, yaitu sanksi kode etik yang terintegral dalam peradilan etik nasional, sehingga para pejabat tidak melulu dikenakan sanksi pidana dan administrasi," tutur dia.

Adapun dalam pelaksanaan pemerintahan melalui Perppu Cipta kerja ini, dinilai ada hal menarik, yakni pada Pasal 174 yang berbunyi:

“Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden".

Dalam hal pasal di atas, semua pelaksanaan seluruh aktivitas pemerintahan pusat dan daerah dalam menjalankan Perppu ini harus dimaknai atas kewenangan Presiden.

Baca juga: Tantangan Bisnis dan Ancaman Resesi Jadi Bahasan Serius Praktisi dan Ekonom di Forum Ini

"Karena itu, Perppu ini terkesan sentralistrik atas kewenangan Presiden saja seolah-olah seperti titah raja yang diikuti oleh semua anak buahnya. Padahal, Indonesia menganut rule of law, bukan rule of man," kata Rizaldy.

Memang, lanjutnya, sifat Perppu ini adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU, karena membentuk UU prosesnya lama.

Dengan demikian adanya jalan Perppu untuk Presiden mengambil Langkah cepat dan strategis dalam keadaan memaksa/tertentu dan kedudukan Perppu ini bisa dikatakan sejajar UU.

Sementara, politik hukum yang dibangun pemerintah dengan adanya Perppu ini dinilai untuk mengantisipasi adanya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.

"Lalu, terjadinya kenaikan inflasi berpotensi berdampak luas terhadap perekonomian nasional, sehingga harus direspons dengan konsep pembaruan dan kebijakan peningkatan daya saing serta daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam UU Cipta Kerja," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas