Ekonom Prediksi Resesi Inggris pada Tahun Ini Hampir Separah Rusia
Perusahaan konsultan KPMG memproyeksikan PDB riil Inggris akan berkontraksi sebesar 1,3 persen pada 2023.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Para ekonom memperkirakan kontraksi ekonomi Inggris pada tahun ini hampir menyamai Rusia, karena penurunan tajam dalam standar hidup membebani aktivitas konsumsi rumah tangga.
Melansir dari CNBC, dalam prospek ekonomi makro 2023, perusahaan perbankan investasi Goldman Sachs memperkirakan kontraksi 1,2 persen dalam Produk Domestik Bruto (PDB) riil Inggris sepanjang tahun ini, jauh di bawah PDB negara-negara Group of Ten (G10) lainnya.
Angka tersebut menempatkan Inggris sedikit di depan Rusia, yang diproyeksikan Goldman Sachs akan mengalami kontraksi 1,3 persen pada 2023 karena terus melancarkan serangan di Ukraina dan menghadapi sanksi ekonomi dari pihak Barat.
Baca juga: Hadapi Resesi, Salesforce PHK 7.900 Tenaga Kerja dan Tutup Beberapa Kantornya
Goldman Sachs memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS sebesar 1 persen pada 2023 dan 1,6 persen pada 2024. Jerman diperkirakan akan mengalami kontraksi 0,6 persen pada tahun ini, kemudian berkembang sebesar 1,4 persen di tahun berikutnya.
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan bahwa Inggris akan tertinggal jauh dari negara-negara maju di tahun-tahun mendatang, meskipun menghadapi hambatan ekonomi makro yang sama, menempatkan kinerja Inggris lebih dekat dengan Rusia daripada negara-negara Group of Seven (G7) lainnya.
Kawasan euro dan Inggris sama-sama sudah masuk ke dalam resesi, tulis Kepala Ekonom Goldman Jan Hatzius dan timnya, karena keduanya mengalami “peningkatan tagihan energi rumah tangga yang jauh lebih besar dan berlarut-larut” yang akan mendorong inflasi ke puncak yang lebih tinggi daripada yang terlihat di wilayah lain.
“Pada gilirannya, inflasi yang tinggi akan membebani pendapatan riil, konsumsi, dan produksi industri. Kami memperkirakan penurunan lebih lanjut dalam pendapatan riil sebesar 1,5 persen di kawasan euro hingga 2023Q1 dan 3% di Inggris hingga 2023Q2, sebelum meningkat di H2,” kata para analis Goldman Sachs.
Office for Budget Responsibility (OBR) Inggris memproyeksikan bahwa negara tersebut menghadapi penurunan standar hidup yang paling tajam.
Bersamaan dengan laporan anggaran Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt pada November, OBR memperkirakan pendapatan riil rumah tangga yang dapat dikeluarkan, yang menjadi ukuran standar hidup, akan turun sebesar 4,3 persen pada 2022-2023.
Perusahaan konsultan KPMG memproyeksikan PDB riil Inggris akan berkontraksi sebesar 1,3 persen pada 2023, di tengah “resesi yang relatif dangkal namun berlarut-larut”, sebelum melihat pemulihan sebesar 0,2 persen pada 2024.
Tekanan pada pendapatan disebutkan sebagai pendorong utama, karena inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi secara signifikan membatasi daya beli konsumen rumah tangga.
Bank of England menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 3,5 persen pada Desember, untuk mengendalikan inflasi yang sedikit menurun pada November dari level tertinggi dalam 41 tahun pada Oktober.
Baca juga: Alan Greenspan: AS Tak Bisa Hindari Resesi Jika The Fed Terus Ambil Langkah Hawkish
KPMG memperkirakan bank sentral Inggris menaikkan suku bunga menjadi 4 persen selama kuartal pertama tahun ini sebelum mengadopsi pendekatan “wait and see”, karena inflasi berangsur-angsur mereda.
“Pasar tenaga kerja akan mulai memburuk dari paruh pertama tahun 2023, dengan tingkat pengangguran mencapai 5,6% pada pertengahan tahun 2024, mewakili peningkatan sekitar 680.000 orang,” kata ekonom KPMG dalam laporan prospek ekonomi pada Desember.
Kepala ekonom di KPMG UK, Yael Selfin, mengatakan lonjakan harga pangan dan energi serta inflasi yang secara keseluruhan lebih tinggi telah mengurangi daya beli rumah tangga.
“Meningkatnya suku bunga telah menambah angin sakal lain untuk pertumbuhan. Rumah tangga berpendapatan rendah sangat rentan terhadap campuran tekanan harga saat ini, karena kategori pengeluaran yang paling terpengaruh sebagian besar jatuh pada kebutuhan, dengan sedikit pengganti dalam jangka pendek,” kata Selfin dalam laporan tersebut.
Seiring dengan munculnya hambatan global yang timbul dari perang di Ukraina dan gangguan pasokan terkait dengan tindakan Covid-19 di China serta dampak pandemi, Inggris menghadapi kendala domestik yang unik seperti masalah kesehatan jangka panjang yang telah memperketat pasar tenaga kerja. Negara ini juga mengalami penurunan perdagangan akibat Brexit.
“Meskipun komoditas mendorong lonjakan awal [inflasi], tekanan harga telah meluas secara signifikan di seluruh kategori inti baik di kawasan euro dan Inggris menyusul kejutan kenaikan inflasi,” kata Jan Hatzius dari Goldman.
“Faktanya, tekanan harga inti Inggris sekarang paling luas di seluruh G10, dengan badai krisis energi yang sempurna (seperti benua Eropa) dan pasar tenaga kerja yang terlalu panas (seperti AS),” tambahnya.