Pakar UGM: Perppu Cipta Kerja Bikin Bingung Masyarakat, Tidak Berikan Kepastian Hukum
Berdasarkan tren perbincangan masyarakat di media sosial, masyarakat malah tampak semakin bingung dengan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Perburuhan UGM Nabiyla Risfa Izzati menilai Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja khususnya di klaster ketenagakerjaan tidak memberikan kepastian hukum.
Sebaliknya, berdasarkan tren perbincangan masyarakat di media sosial, masyarakat malah tampak semakin bingung dengan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja tersebut.
Kebingungan yang muncul, kata dia, salah satunya karena ketika Perppu tersebut berlaku maka Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dicabut.
Namun, lanjut dia, peraturan-peraturan pelaksananya masih berlaku.
Padahal, dalam konteks ketenagakerjaan ada cukup banyak ketentuan di peraturan pelaksana yang sebenarnya sudah tidak lagi relevan dengan substansi yang sekarang ada di Perppu Cipta Kerja.
Ia mencontohkan soal ketentuan terkait perusahaan alih daya atau outsourcing dan pengupahan.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi publik bertajuk Kupas Tuntas Perppu Cipta Kerja bertajuk Bentuk Paripurna Ambruknya Negara Hukum dan Demokrasi di kanal Youtube KontraS pada Jumat (6/1/2023).
"Contohnya soal outsourcing, soal pengupahan yang berubah. Itu sebenarnya sudah tidak lagi sama, sudah tidak harmonis. Jadi di satu sisi justru menambah ketidakharmonisan, yang kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Nabiyla.
Baca juga: Greenpeace Juga Tolak Perppu Cipta Kerja, Ini Kegentingan Oligarki
"Jadi kalau cita-citanya kepastian hukum kok menurut saya aneh sekali. Itu sama sekali tidak tercapai ketika kita membicarakan Perppu 2/2022 (Perppu Cipta Kerja)," sambung dia.
Terkait ketentuan mengenai pengupahan dalam Perppu Cipta Kerja, kata dia, termasuk substansi yang paling banyak berubah dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Hal yang berubah, kata dia, adalah terkait formula pengupahan. Menurutnya, formula yang ditawarkan oleh Perppu Cipta Kerja sedikit lebih baik dibandingkan UU Cipta Kerja.
Baca juga: Ekonom INDEF Didin S Damanhuri: Perppu Cipta Kerja Bukti Munculnya Oligarki Ekonomi
UMP 2022 yang menggunakan PP 36/2021 di mana formulanya adalah turunan dari UU Cipta Kerja kenaikan rata-rata nasionalnya hanya mencapai sekitar 1 persen.
Kenaikan tersebut, kata dia, terendah sepanjang sejarah.
Namun di kemudian hari, tekanan dari banyak serikat buruh membuat formula tersebut berubah mengikuti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang Upah Minimum tahun 2023.
Baca juga: Kritik Perppu Cipta Kerja, HNW: Seharusnya yang Dilaksanakan Itu Putusan MK
Formulasi pengupahan pada Perppu Cipta Kerja, kata dia mirip dengan Permenaker tersebut.
Namun demikian, kata dia, ada inkonsistensi terkait hal tersebut yang menimbulkan ketidak pastian hukum.
"Jadi di satu sisi formulanya berubah, tapi di sisi lain ada tambahan pasal baru di pasal 88F yang mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu pemerintah bisa mengubah formulasi di dalam 88D," kata Nabiyla.
"Yang artinya sebenarnya pasal 88F ini dalam kaca mata kepastian hukum, sama sekali tidak memberikan kepastian hukum. Karena dia mementahkan ketentuan yang ada di dalam 88D. Karena ketika ada keadaan tertentu, dalam hal ini pemerintah pusat itu memiliki kewenangan untuk mengubah formulasi," sambung dia.