Perkara Kelangkaan Minyak Goreng, Sawit Watch Ajukan Banding Atas Kekeliruan PTUN Jakarta
Sawit Watch melayangkan banding putusan PTUN Jakarta terkait perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintahan terkait kenaikan harga minyak goreng
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sawit Watch melayangkan banding putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkait perbuatan melanggar hukum (PMH) oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atas terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada bulan Maret-April 2022.
Diketahui, merujuk amar putusan PTUN Jakarta nomor: 150/G/TF/2022/PTUN.JKT, tanggal 15 Desember 2022 tersebut menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima, dengan pertimbangan (alasan).
Pertama, objek gugatan penggugat merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikecualikan sebagai objek sengketa dalam Kompetensi Absolut Tata Usaha Negara (TUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf b Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kedua, objek Gugatan tidak termasuk kualifikasi keputusan tata usaha negara yang mencakup tindakan faktual (tindakan Administrasi Pemerintahan)
Dan ketiga, objek gugatan tidak termasuk sebagai objek sengketa tata usaha negara, dan Pengadilan TUN tidak berwenang mengadili perkara (Kompetensi Absolut).
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, pihaknya mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta dan didukung oleh aliansi masyarakat sipil yakni ELSAM, Greenpeace Indonesia, Public Interest Lawyer Network (PILNET) Indonesia, Perkumpulan HuMa, dan WALHI Nasional.
Ia melanjutkan, bahwa putusan atas gugatan yang diajukan tersebut tidak termasuk sebagai objek sengketa tata usaha negara sehingga gugatan penggugat tersebut tidak dapat diterima adalah keliru dan salah.
Baca juga: Kejaksaan Agung Akan Banding Terhadap Putusan Kasus Korupsi Minyak Goreng
"Kekeliruan Hakim menyimpulkan tentang objek gugatan ini akan berdampak besar karena membuka kemungkinan hal serupa terjadi lagi di masa depan," ucap Achmad dalam keterangannya dikutip, (9/1/2023).
"Tata kelola hulu ke hilir industri sawit harus segera dibenahi untuk mencegah potensi pelanggaran hak asasi manusia lebih besar lagi," sambungnya.
Baca juga: Kasus Korupsi Minyak Goreng Rugikan Negara Rp 2,9 Triliun
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum dari PILNET Indonesia, Judianto Simanjuntak lebih lanjut menilai, Majelis Hakim PTUN Jakarta telah keliru dan salah menyimpulkan dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa Objek Gugatan Penggugat merupakan produk hukum dari Para Tergugat (Menteri Perdagangan RI dan Presiden RI) yaitu merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Sehingga lanjut Judaianto, objek gugatan yang merupakan ruang lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara tidak terbatas hanya pada sebuah penetapan tertulis saja (Surat Keputusan) tetapi juga sebuah tindakan faktual (tindakan administrasi pemerintahan), baik itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu oleh pejabat Tata Usaha Negara seperti halnya Objek Gugatan Penggugat.
"Penggugat mengklasifikasikan objek gugatan penggugat sebagai sebuah tindakan faktual (tindakan Administrasi Pemerintahan) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Jo Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun 2019," papar Judianto.
"Oleh karena itu penggugat keberatan atas argumentasi maupun pertimbangan hukum dari Majelis Hakim PTUN Jakarta tersebut karena hal itu merupakan kekeliruan dari Majelis Hakim yang dengan sengaja sengaja menafsirkan objek gugatan Penggugat secara kabur. Penggugat menilai Majelis Hakim PTUN Jakarta telah salah dan keliru menyatakan Objek Gugatan tidak termasuk sebagai objek sengketa tata usaha negara," pungkasnya