Eksistensi Desa di Tengah Industri Migas
Marwan Jafar menyebut, sumber daya mineral lainnya bisa atau sangat berpotensi menuai berkah maupun masalah sosial-ekonomi dan keamanan
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Buktinya, hari-hari ini kita agak dikagetkan dengan adanya peristiwa kerusuhan yang terjadi di lokasi pabrik perusahaan tambang nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Desa Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara, Sulawesi Tengah pada Sabtu malam 14 Januari 2023.
Menurut pemberitaan media, kerusuhan yang sudah mengakibatkan dua orang meninggal dunia dan delapan terluka itu, boleh jadi bersumber pada atau terkait masalah ketenagakerjaan. Sebab, kerusuhan dipicu dari unjuk rasa oleh Serikat Pekerja Nusantara yang menuntut persoalan mengenai keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), pengupahan serta pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kalau kita mencermati dan membandingkan pengelolaan SDA migas di ranah hulu maupun hilir di masa lalu maupun sekarang, tidak berlebihan mengatakan tetap saja ada semacam benang merah yang bisa kita tarik sebagai pelajaran secara sosiologis maupun psikologis.
Baca juga: Lewat Muktamar ke-3 KMF, Marwan Jafar Terpilih sebagai Ketua PP Keluarga Mathaliul Falah
Selanjutnya bila kita kaitkan dengan "nasib" keberadaan warga masyarakat--yang dalam hal ini nyaris dipastikan di kawasan pedesaan, pedalaman atau pantai serta notabene masih relatif miskin --di mana di situ ada kegiatan pembangunan sisi hulu maupun hilir SDA migas, maka tidak bisa tidak spektrum kenyataan interaksi sosial, ekonomi hingga tingkat keamanan wajib menjadi perhatian pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga kalangan investor.
Intinya, diperlukan sejumlah sinergitas yang solid dan konkrit antara kegiatan bisnis oleh entitas perusahaan hulu maupun hilir migas dengan program pembangunan yang sedang dan akan dikerjakan oleh pemerintah setempat.
Terkait sinergitas program ini, juga memerlukan kesepakatan program apa saja dan bagaimana mengerjakannya di tingkat desa, kecamatan serta kabupaten. Dokumen kesepakatan sejumlah program biasanya bisa dirumuskan pada saat digelarnya musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) di level desa hingga kabupaten.
Manfaat lain dari sinergitas program tersebut antara lain terbangun komunikasi yang baik, koordinasi yang terdeteksi hingga menghindari tumpang-tindih atau overlaping yang tidak perlu.
Pada gilirannya kesepakatan yang memiliki dasar kuat dari musrenbang tersebut dalat akan lebih tepat sasaran serta tidak terjadi dispute antara warga masyarakat dengan entitas keberadaan perusahaan hulu atau hilir migas.
Yang jelas dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, sejak menjadi pemangku kepentingan di Kementerian Desa-PDT sampai sekarang, penulis tetap concern serta mengkritisi konstruktif kesekian kali mengenai deurbanisasi alias program kembali ke desa membangun dan memodernisasi desa di berbagai sektor hingga subsektor ekonomi.
Sebagai ilustrasi dan perbandingan, Presiden Jokowi di berbagai kesempatan menegaskan pemerintah Indonesia telah berupaya dan akan terus mewujudkan sejumlah aktivitas pengolahan lebih lanjut alias hilirisasi industri pada komoditas migas, nikel, batubara, tembaga dan lain-lain, kita memahami hal ini dalam konteks di level negara atau bangsa. Nah, bagaimana mewujudkan hilirisasi di tingkat pedesaaan? Apa saja yang mesti dilakukan? Tentu saja sangat banyak pekerjaan dan kegiatan yang bisa dilakukan.
Baca juga: Kader Muda PKB Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Tak Sesuai dengan Semangat Demokrasi
Terkait hal ini, bahkan di tengah masa Pandemi Covid 19 kemarin, penulis sudah menggagas dan mengusulkan agar pemerintah pusat melalui beberapa kementerian terkait dapat berkolaborasi, berkoordinasi menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah hingga pemerintah desa secara lebih konkrit untuk mendorong hilirisasi di sejumlah sub sektor peternakan, pertanian, perkebunan dan perikanan di tingkat rakyat serta sesuai dengan kekuatan sentra produksi di desa, kecamatan dan kabupaten setempat. Saat banyak negara berlomba mencari vaksin penangkal Covid, penulis mencontohkan kita sangat berpeluang mengolah beberapa komoditas tanaman obat yang ditanam warga masyarakat pedesaaan menjadi vaksin obat.
Hal seperti ini bisa terwujud--termasuk pada komoditas lain di sektor perikanan, peternakan dan pertanian--dengan pendekatan teknologi mutakhir serta mestinya dengan kontribusi oleh perusahaan sektor migas hulu dan hilir. Misalnya terkait penjaminan permodalan atau pembiayaan oleh perusahaan migas yang menggandeng kalangan perbankan.
Sisi lain, boleh jadi pula perusahaan migas membantu mencarikan investor multinasional dan meyakinkan mereka berinvestasi pada sejumlah komoditas di sektor agrobisnis dan agroindustri alias hilirisasi subsektor perkebunan, peternakan, pertanian dan perikanan tadi.
Akhirnya bertolak dari narasi di atas, mengingat pengalaman di masa lalu maupun pada akhir-akhir ini serta membandingkan dan setelah memetik pelajaran pentingnya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa eksistensi pemerintah desa sebagai lembaga sosial beserta warga masyarakatnya wajib berinteraksi, berkomunikasi, dan berkolaborasi secara saling menguntungkan dengan keberadaan perusahaan industri migas di hulu atau hilir.