Eksistensi Desa di Tengah Industri Migas
Marwan Jafar menyebut, sumber daya mineral lainnya bisa atau sangat berpotensi menuai berkah maupun masalah sosial-ekonomi dan keamanan
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Oleh Marwan Jafar
Anggota Komisi VII DPR-RI Fraksi PKB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kita mesti mengingat dengan berkepala dingin, aktivitas sejumlah eksplorasi sumber daya alam (SDA) baik berbentuk penambangan batubara, minyak dan gas bumi, nikel, bauksit, timah, tembaga serta sumber daya mineral lainnya bisa atau sangat berpotensi menuai berkah maupun masalah sosial- ekonomi dan keamanan yang signifikan jika tanpa diiringi penanganan, pengelolaan serta konsep strategi yang baik, transparan dan berkelanjutan.
Salah satu contoh kasus kegiatan besar dari eksplorasi SDA migas di masa lalu yang kemudian memunculkan masalah sosial-ekonomi secara fenomenal dan serius pernah terjadi di Tanah Rencong Aceh.
Khususnya menyusul terkait ditemukannya sumber daya migas atau gas alam air (LNG) di kawasan Desa Arun, Kecamatan Syamtalira, Kabupaten Aceh Utara.
Ladang gas alam ini ditemukan pada awal dekade tujuhpuluhan atau tepatnya menjelang akhir tahun 1971 yang diperkirakan mengandung cadangan gas alam mencapai 17,1 triliun kaki kubik. Lokasi lain ladang gas alam cair ini, terletak di Blang Lancang, Lhokseumawe, Matangkuli Aceh Utara dan di Peusangan Kabupaten Bireuen.
Pada masanya, kilang Arun dan lain-lainnya tersebut dikenal merupakan salah satu perusahaan penghasil LNG terbesar di dunia. Namun pada akhir tahun 2015 PT Arun sudah berhenti beroperasi seiring menipisnya cadangan gas alam yang menjadi bahan baku utama di perusahaan tersebut. Selain itu, saat ini lokasi produksi PT Arun NGL telah dilakukan decommissioning alias kondisi di mana kegiatan operasi produksi atau eksploitasi migas telah berakhir.
Sekadar kilas balik, sekitar lima tahun setelah penemuan beberapa ladang gas alam cair di Bumi Serambi Mekah pada awal Desember 1976 lahirlah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemicu utama munculnya GAM, selain adanya perbedaan terkait rencana penerapan hukum Islam dan peningkatan pendatang dari Pulau Jawa, faktor ketidakadilan pembagian keuntungan atas eksplorasi SDA gas alam cair antara pemerintah daerah yang merepresentasikan warga masyarakat, pemerintah pusat dan perusahaan asing. Secara karikaturis sering digambarkan banyak warga masyarakat desa setempat yang masih miskin hanya bisa melihat dari luar pagar lokasi eksplorasi SDA.
Pada gilirannya waktu itu mulai muncul gangguan keamanan oleh warga masyarakat yang terorganisir oleh GAM dari waktu ke waktu ke beberapa area eksplorasi SDA dan melebar ke sejumlah lokasi. Sekadar contoh nyata terkait biaya pengamanan sebuah lokasi proyek eksplorasi--saat itu yang tengah dikelola oleh Exxon Mobiloil--pihak GAM pernah menuntut ongkos keamanan sebesar Rp 1 miliar per bulan.
Jumlah besaran pengamanan proyek ini sama persis dengan anggaran nominal yang dikeluarkan pihak proyek kepada aparat keamanan resmi dalam hal ini pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu. Yang jelas konflik sosial-ekonomi dan keamanan di Aceh tersebut merentang puluhan tahun dan baru terselesaikan melalui sejumlah perundingan antara Pemerintah RI dan GAM serta berakhir pada Perundingan Helsinki 2007.
Perkembangan berikutnya di masa pasca Orde Baru, di era Reformasi hingga sekarang konflik sosial sesungguhnya sempat terjadi di sebagian lokasi eksplorasi penambangan SDA. Ambil contoh konflik yang pernah muncul di Busang maupun Freeport di Papua.
Baca juga: Urgensi Memperluas BBM Satu Harga
Kita bersyukur, pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah serta pihak terkait seperti kementerian dan lembaga relatif dapat berupaya keras serta mampu memecahkan permasalahan dalam sektor komoditi migas secara lebih strategis, terkonsep, profesional, win-win solution serta berperspektif cukup jauh ke depan.
Buktinya, sejumlah penambangan eksplorasi SDA migas di sejumlah blok di beberapa daerah seperti Blok Rokan Riau, Blok Mahakam di Kalimantan telah 'dinasionalisasi' dengan baik serta secara faktual maupun legal-yuridis dalam arti pengambilalihan pengelolaan secara profesional yang sebelumnya dioperasikan oleh sejumlah perusahaan asing seperti Stanvac maupun Totall Indonesie. Terkait ini kita perlu mengapresasi pula karena pemerintah akhirnya mampu menguasai 51 persen kepemilikan saham di PT Freport Indonesia misalnya.
Puaskah kita dalam konteks pencapaian pemecahan masalah di sektor sejumlah lokasi eskplorasi SDA migas tersebut? Tentu saja tidak.
Tapi bergembira dan mensyukurinya tentu juga sudah sewajarnya. Maksudnya, penulis tetap senantiasa serius mengingatkan kita perlu terus mencadangkan sikap kehati-hatian, berwaspada, antisipatif serta tidak cepat berpuas diri atau terlena. Sebab, penyelesaian satu masalah dalam konteks optimalisasi industri migas di masa lalu maupun sekarang, masih tetap berpotensi memunculkan masalah baru yang boleh jadi di luar perhitungan kita sebelumnya.