Laporan Kementerian Keuangan: Utang Pemerintah Sentuh Rp 7.733 Triliun Hingga Akhir 2022
Jika dirinci, total utang pemerintah hingga Desember 2022 mayoritas didominasi oleh surat berharga negara (SBN) sebesar Rp6.846,89 triliun
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam laporannya mengungkapkan, posisi utang pemerintah sebesar Rp7.733,99 triliun hingga akhir Desember 2022.
Angka tersebut setara dengan 39,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Jika dirinci, total utang pemerintah hingga Desember 2022 mayoritas didominasi oleh surat berharga negara (SBN) sebesar Rp6.846,89 triliun atau sekitar 88,53 persen dari total utang.
Baca juga: Ekonom Mandiri Sekuritas Sebut Utang Indonesia Aman Saat 63 Negara Terlilit Utang
Kemudian sisanya yakni Rp887,10 triliun atau 11,47 persen merupakan berjenis pinjaman.
Sementara berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh rupiah yaitu sebesar 70,75 persen.
Meski demikian, Kemenkeu memastikan rasio utang Pemerintah dalam kondisi aman.
"Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," tulis Kementerian Keuangan dalam laporan Kinerja dan Fakta APBN KiTa dikutip, Kamis (19/1/2023).
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati.
Untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan utang, Pemerintah akan selalu mengacu kepada peraturan perundangan dalam kerangka pelaksanaan APBN, yang direncanakan bersama DPR, disetujui dan dimonitor oleh DPR, serta diperiksa dan diaudit oleh BPK.
Baca juga: Penyusutan Populasi China Bawa Malapetaka, Utang Melonjak di Tengah Anjloknya Pendapatan
Utang yang didominasi mata uang domestik itu menjadi tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri.
Jika dibandingkan dengan, Nilai utang itu naik Rp 179,74 triliun dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.554,25 triliun dengan rasio 38,65 persen terhadap PDB.
Kendati terjadi kenaikan, Kemenkeu menyebut peningkatan utang tersebut masih dalam batas aman, karena rasio utang pemerintah berada jauh di bawah batas maksimal yang ditentukan dalam undang-undang yakni 60 persen terhadap PDB.
"Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," tulis Kementerian Keuangan.
Kemenkeu menjelaskan, fluktuasi posisi utang pemerintah dipengaruhi oleh adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan surat berharga negara (SBN), penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar.
"Pemerintah berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati," tulis Kemenkeu.
"Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang rupiah, porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga," tulis Kemenkeu.
Baca juga: Cegah Gagal Bayar, Menkeu Amerika Serikat Desak Parlemen Naikkan Batas Utang Pemerintah
Adapun untuk besaran utang dalam bentuk SBN, terdiri dari domestik atau denominasi rupiah sebesar Rp 5.452,36 triliun, mencakup surat utang negara (SUN) senilai Rp 4.441,12 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 1.011,24 triliun.
Kemudian terdiri dari denominasi valuta asing (valas) sebesar Rp 1.394,53 triliun, yang mencakup SUN senilai Rp 1.064,37 triliun dan SBSN mencapai Rp 330,16 triliun.
Kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh perbankan dan diikuti Bank Indonesia (BI), sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57 persen hingga per Desember 2022 mencapai 14,36 persen.
Menurut Kemenkeu, semakin menurunnya kepemilikan asing terhadap SBN sekaligus menunjukkan upaya pemerintah yang konsisten dalam mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup.
"Meski demikian, pemerintah akan terus mewaspadai berbagai risiko yang berpotensi meningkatkan cost of borrowing seperti pengetatan likuiditas global dan dinamika kebijakan moneter negara maju," tulis buku APBN KiTa tersebut.
Sementara itu, untuk utang yang berasal dari pinjaman yakni mencakup pinjaman dalam negeri sebesar Rp 19,67 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp 867,43 triliun.
Secara rinci pinjaman luar negeri itu terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 282,75 triliun, multilateral Rp 529,99 triliun, serta comercial banks sebesar Rp 54,70 triliun.