AS Terancam Gagal Bayar, Mimpi Buruk Bagi Indonesia?
Sejumlah sektor yang terpengaruh, diantaranya seperti ekspor pakaian jadi, alas kaki, produk olahan karet, Crude Palm Oil atau CPO
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen memperingatkan kalau negeri Paman Sam itu sedang tidak baik-baik saja.
AS terancam malapetakan ekonomi karena tak mampu membayar utangnya yang telah menggunung alias default.
Kongres AS gagal menaikkan plafon utang pemerintah, hal itu berdampak pada default utang AS, yang bakal memicu bencana ekonomi yang akan mendorong suku bunga AS lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang.
Baca juga: PDB Amerika Serikat Hanya Tumbuh 1,1 Persen di Tengah Ancaman Gagal Bayar Utang
Janet Yellen, dalam sambutan yang disiapkan untuk acara Washington dengan eksekutif bisnis dari California, mengatakan default utang AS akan mengakibatkan hilangnya pekerjaan, mendorong pembayaran rumah tangga untuk hipotek, pinjaman mobil, dan kartu kredit menjadi lebih tinggi.
Lalu jika benar terjadi, apa dampaknya bagi Indonesia?
Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kegagalan bayar utang AS dapat menyebabkan krisis di negara tersebut.
Efeknya dapat mempengaruhi negara mitra dagang, salah satunya Indonesia, yang juga merupakan eksportir sejumlah komoditas dan produk ke Negeri Paman Sam.
"Sinyal ekonomi AS yang mengalami dobel crisis yakni krisis gagal bayar utang dan ancaman resesi ekonomi semakin terlihat, dan harus menjadi warning bagi ekonomi negara berkembang seperti Indonesia," ucap Bhima kepada Tribunnews, Sabtu (29/4/2023).
"AS merupakan mitra dagang yang penting, dan hub manufaktur Indonesia selain ke China, Jepang, dan India," sambungnya.
Sejumlah sektor yang terpengaruh, lanjut Bhima, diantaranya seperti ekspor pakaian jadi, alas kaki, produk olahan karet, Crude Palm Oil atau CPO, furnitur, produk perikanan, hingga produk barang dari kulit.
"Sepanjang 2017-2021 ekspor pakaian jadi saja sudah -3 persen ke pasar AS, alas kaki -1 persen, dan barang dari kulit -3 persen," ucap Bhima.
"Bagaimanapun juga AS adalah mitra ekspor tradisional dengan porsi sebesar 9,2 persen sepanjang Januari-Maret 2023," tambahnya.
Efek lanjutannya, pemutusan hubungan kerja akan terjadi imbas turunnya permintaan di sektor-sektor manufaktur.
Baca juga: Moratorium Izin Koperasi Karena Maraknya Gagal Bayar, Ada Koperasi Bodong Dengan Omzet Rp 15 T
"Kondisi penurunan permintaan ekspor bisa sebabkan phk massal meluas sepanjang 2023, tidak hanya di sektor manufaktur tapi juga basis komoditas perkebunan dan tambang," pungkasnya.
Dampak ke rupiah
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, rupiah bisa ambil keuntungan dengan adanya sentimen tersebut.
"Dampak ancaman gagal bayar terhadap rupiah karena pelemahan dolar AS dimanfaatkan pelaku pasar beli rupiah, sehingga naik signifikan bisa ke Rp 14.500 per dolar AS," ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Ariston Tjendra menilai, kalau soal penguatan rupiah terhadap Greenback lebih karena sentimen penurunan suku bunga AS.
"Ini terkait ekspektasi pasar terhadap peluang pemangkasan suku bunga acuan AS di akhir tahun," tutur dia.
Ekspektasi ini menguat setelah data ekonomi AS menunjukkan pelambatan pertumbuhan dan krisis perbankan yang juga diakibatkan kenaikan suku bunga acuan.
Baca juga: Gagal Bayar Utang pada JP Morgan, Superyacht Asal Rusia Dilelang 74,5 Juta Dolar AS
"Sejauh ini kalau dibandingkan, ekonomi Indonesia jauh lebih stabil dibandingkan dengan ekonomi AS, sehingga ini juga mendukung penguatan rupiah terhadap dollar AS.
Pasar menunggu hasil rapat The Fed pekan depan untuk pergerakan rupiah terhadap dolar AS selanjutnya," pungkasnya.
Sementara itu Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, ancaman default dari pemerintah AS sebenarnya cukup beralasan.
Karena terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah seiring dengan peningkatan pengeluaran bunga yang naik akibat kebijakan suku bunga yang tinggi.
Salah satu kebijakan yang harus diambil oleh Pemerintah AS adalah menaikkan pagu utang.
"Namun demikian, dengan kondisi perekonomian yang masih belum stabil akibat krisis SVB (Silicon ValleyBank), pemerintah diperkirakan masih menaikan pagu utangnya," ucap Josua kepada Tribunnews, Sabtu (29/4/2023).
"Pernyataan Yellen sendiri mungkin merupakan kekhawatirannya bila utang pemerintah terus meningkat tidak terkendali," sambungnya.
Josua melanjutkan, Pemerintah AS mungkin juga dapat menahan laju pertumbuhan utangnya, yakni melalui pemotongan belanja pemerintah.
Apalagi dengan kondisi tingkat pengangguran AS yang cukup rendah, pemerintah AS seharusnya punya cukup ruang untuk melakukan kebijakan tersebut.
Josua melanjutkan, apabila AS mengambil kebijakan ini maka akan berdampak diantaranya adalah kenaikan imbal hasil atau yield surat utang pemerintah AS (US Treasury), yang kemudian secara tidak langsung ikut mengangkat yield IDR bond di Tanah Air.
Dampaknya lebih kepada potensi foreign outflow di pasar obligasi selama sentimen tersebut berada di pasar keuangan global.
"Adapun jumlah utang dan beban bunga pemerintah tidak terdampak mempertimbangkan tingkat utang termasuk utang luar negeri Indonesia yang manageable," papar Josua.
"Sementara itu, dampaknya terhadap perbankan, cenderung risikonya relatif rendah mengingat eksposur perbankan nasional terhadap UST (surat utang pemerintah AS) juga relatif rendah," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.