Lima Alasan Partai Buruh Gugat UU Cipta Kerja ke MK: Pembangkangan Konstitusi
Ada lima alasan Partai Buruh mengajukan gugatan uji formiil Undang-Undang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Choirul Arifin
“Yang sesungguhnya terjadi adalah DPR tidak pernah menggelar Rapat Paripurna di bulan Januari dengan agenda memberikan persetujuan terhadap Perpu Cipta Kerja,” papar Said.
Yang ada, lanjut dia, pada 15 Januari 2023 DPR baru sebatas menyepakati Perpu Cipta Kerja di forum rapat Pembicaraan Tingkat Satu.
Pembicaraan tingkat satu adalah tahapan awal dalam proses pengesahan sebuah undang-undang di parlemen. Pembicaraan tingkat satu berbeda dengan rapat paripurna.
Itu merupakan dua forum rapat yang berlainan. Kekuatan hukum diantara keduanya pun secara konstitusional berbeda.
Oleh sebab itu, forum pembicaraan tahap satu secara hukum tidak dapat digunakan DPR untuk memberikan persetujuan, apalagi untuk menetapkan Perpu menjadi undang-undang. Itu jelas inkonstitusional.
“Persetujuan untuk menetapkan Perpu menjadi undang-undang hanya dapat dilakukan dalam Rapat Paripurna, bukan dalam forum rapat lain di DPR,” katanya.
Alasan kelima yang diajukan Partai Buruh untuk menyatakan UUCK inkonstitusional adalah tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perpu dengan menggunakan metode omnibus law.
Dalam Pasal 42A UU PPP diatur, metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal, semisal undang-undang.
Omnibus Law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perppu.
Konstruksi hukum yang demikian disebabkan karena Pasal 42A UU PPP sudah ‘mewanti-wanti’ bahwa kalau mau membuat produk hukum dengan menggunakan metode omnibus law, maka harus dipenuhi dulu tiga syarat.
Syarat pertama, produk hukum itu terlebih dahulu harus disusun dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.
Kedua, rancangan peraturan perundang-undangan itu harus ditetapkan dalam sebuah dokumen perencanaan. Ketiga, dokumen perencanaan itu harus dimasukan dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Said mengatakan Perppu merupakan bentuk hukum darurat yang tidak didesain untuk memenuhi tiga syarat tersebut.
Karena sifat kemendesakannya, Perppu dibentuk tanpa harus melalui sebuah dokumen perencanaan, apalagi harus terlebih dahulu dimasukan dalam prolegnas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah Perppu tidak mungkin dibentuk dengan metode omnibus law karena dia tidak mungkin mampu memenuhi syarat-syarat pembentukan produk hukum dengan metode omnibus law.
“Di sinilah argumentasi bahwa Perpu Cipta Kerja cacat formil dan harus dinyatakan inkonstitusional menemukan korelasinya,” tukasnya.