Potensi Investasi Besar, Komisi VI DPR Dukung Menteri Bahlil Atur Perdagangan Karbon di Indonesia
DPR mendukung Menteri Bahlil untuk mengatur perdagangan karbon di Indonesia agar dapat dioptimalkan sebagai sumber pendapatan negara.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Nasim Khan mendukung rencana Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, untuk mengatur perdagangan karbon di Indonesia agar dapat dioptimalkan sebagai sumber pendapatan negara.
Menurut Nasim, sebagai negara tropis Indonesia memiliki kekayaan hutan tropis seluas sekitar 125 juta hektare yang dapat menghasilkan sekitar 25 juta miliar ton karbon, potensi itu dapat menjadi daya tarik bagi para investor dengan potensi pendapatan sekitar US$ 565,9 miliar atau Rp. 8.000 triliun.
“Indonesia adalah negara tropis yang memiliki hutan yang sangat luas, sehingga potensi perdagangan karbon sudah seharusnya dapat dimaksimalkan. Bursa karbon harus dikapitalisasi di Indonesia jangan sampai diatur-atur asing karena kita pemilik 125 juta hektar hutan tropis yang mampu menyerap 25 miliar ton karbon,” kata Nasim, dalam keterangannya Kamis (4/5/2023).
Nasim menambahkan, dengan potensi pendapatan yang luar biasa dari sektor karbon, pihaknya mendukung pemerintah dalam hal ini kementerian investasi untuk mengatur secara ketat perdagangan karbon di tanah air.
“Jumlah itu belum mencakup hutan bakau dan gambut. Catatan dari para ahli memperkirakan bahwa perdagangan karbon bisa menghasilkan pendapatan senilai US$ 565,9 miliar atau Rp 8.000 triliun. Makanya regulasi berupa penguatan hukum di sektor perdagangan ini menjadi perhatian utama pemerintah,” ucapnya.
Dijelaskan Nasim, perdagangan karbon telah sesuai sebagaimana Protokol Kyoto yang berlaku sejak 16 Februari 2005, lalu pada tahun 2015 diperbaharui dengan nama Paris Agreement atau Perjanjian Paris menggantikan Protokol Kyoto untuk menjawab dinamika perubahan iklim global.
“Para pemimpin dunia telah bersepakat mengurangi emisi karbon dioksida dan keberadaan gas rumah kaca di atmosfer, meskipun masih ada negara yang belum meratifikasi seperti misalnya Amerika Serikat,” ujarnya.
Legislator PKB itu mengatakan, jika melihat fakta perdagangan karbon di dunia, dampaknya relatif cukup besar terhadap penurunan intensitas karbon.
Nasim mencontohkan dalam kurun waktu 2015 hingga 2020, dari catatan pegiat lingkungan memperkirakan bahwa sebesar 17,17 miliar ton emisi karbon berhasil dihilangkan atau diminimalkan.
Baca juga: Pemerintah akan Atur Mekanisme Perdagangan Karbon
“Negara di dunia yang telah melakukan perdagangan karbon mendapatkan kentungan. Di tahun 2015, perdagangan karbon global tercatat sekitar US$ 50 milyar. Sekitar 70 persen dari total tersebut dihasilkan dari Emission Trading System dan 30% dihasilkan dari Carbon Tax,” ucap Nasim.
Nasim menyatakan sepakat dengan pemerintah dalam membuat peraturan tentang perdagangan karbon diatur secara lebih detail, mekanisme di lapangan lebih rapi dan terstruktur dengan melibatkan berbagai instansi di dalam negeri.
“Indonesia saat ini terlihat lebih serius dalam persoalan perdagangan karbon. Bahkan wacana yang berkembang selain bisa diperdagangkan langsung, perdagangan karbon bisa dilakukan di bursa karbon, nanti bentuknya seperti saham," ucapnya.
Dengan begitu, kata Nasim, produksi dan pengurangan emisi harus tercatat, terdokumentasi, dan terverifikasi secara jelas.