Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ekspor Pasir Laut Dikritik, Pemerintah Tetap Lanjut Karena Bernilai Ekonomi dan Bahayakan Pelayaran

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Ekspor Pasir Laut Dikritik, Pemerintah Tetap Lanjut Karena Bernilai Ekonomi dan Bahayakan Pelayaran
SERAMBI INDONESIA DAILY/BUDI FATRIA
Ilustrasi pengerukan pasir laut. Izin ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, di mana aturan tersebut dinilai lebih banyak resiko negatifnya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah tetap melanjutkan kebijakan ekspor pasir laut meski menuai banyak kritikan dari berbagai pihak.

Izin ekspor pasir laut sebelumnya telah ditutup selama 20 tahun karena dinilai dapat merusak lingkungan.

Hal itu tercantum melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pelarangan ekspor tersebut bertujuan untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Baca juga: Ekspor Pasir Laut Kok Dibuka Lagi Setelah 20 Tahun Ditutup? Luhut: Untuk Kesehatan Laut

Selang puluhan tahun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Peraturan yang dikeluarkan pada 15 Mei 2023 tersebut salah satunya memperbolehkan ekspor pasir laut ke luar negeri.

Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, yang dibolehkan untuk diekspor adalah sediman, karena terjadi banyak pendangkalan laut.

"Yang dimaksud dan dibolehkan itu sedimen, kan channel itu banyakan terjadi pendangkalan, karena pengikisan dan segala macam," kata Arifin di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (31/5/2023).

Berita Rekomendasi

Untuk menjaga alur pelayaran, kata Arifin, dilakukan pengerukan sedimen agar terjadi pendalaman lapisan. Hasil pengerukan sedimen tersebut yang diekspor ke luar.

"Itu lah yang sedimen itu yang lebih bagus dilempar keluar daripada ditaruh tempat kita juga," katanya.

Oleh karena itu menurut dia tidak masalah dengan ekspor pasir laut karena yang diekspor adalah sedimen yang membahayakan alur pelayaran.

"Ya karena sedimen itu kan bikin pendangkalan alur pelayaran, membahayakan alur pelayaran," katanya.

Menurut Arifin penumpukan sedimen tersebut terjadi di sejumlah titik alur pelayaran. Terutama di perairan Malaka, antar Batam dan Singapura.

"Terutama di channel yang dekat lintas pelayaran masif, di dekat Malaka sampai strait antara Batam dan Singapura," pungkasnya.

Bernilai Ekonomi

Arifin menyampaikan dengan dibukanya ekspor pasir laut maka akan ada nilai ekonomi dari pengerukan sedimen karena hasilnya bisa dijual ke luar negeri.

"Sekarang begini, kalau mengendap jadi apa? Sedimen aja dan membahayakan alur pelayaran. Kan dikeruk ada ongkosnya, Ada nilainya dong. Maka ada yang mau ngga? Supply demand pasti ada," katanya.

Ia mengatakan sejumlah negara pasti berminat terhadap pasir laut dari Indonesia. Salah satunya Singapura.

Hanya saja kata dia, sebelum di ekspor, kebutuhan dalam negeri akan pasir laut harus dipenuhi terlebih dahulu.

Baca juga: Pemerintah Diminta Segera Kaji Ulang Izin Ekspor Pasir Laut, DPR: Jadi Ancaman Nyata Lingkungan

"Ya itu nanti kita lihat di sekitar sekitar, kalau memang ada kebutuhan di sekitar wilayah tersebut (dalam negeri) maka harus dipenuhi terlebih dulu," katanya.

Agar ekspor pasir laut tetap terkendali dan tidak merusak lingkungan, Arifin memastikan pemerintah akan mengawasinya secara ketat.

"Ya diawasi nanti," kata Arifin.

Tuai Kritik

Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung menjelaskan, izin ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, di mana aturan tersebut lebih banyak resiko negatifnya.

Ia menyebut, alasan pelarangan ekspor pasir laut yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Memperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 sudah sangat jelas, salah satunya tentang kerusakan lingkungan.

"Kita lihat para pemerhati lingkungan juga sudah bersuara untuk penolakan PP ini. Artinya ini jelas ancaman yang nyata terhadap lingkungan kita," kata Martin kepada Tribunnews, Selasa (30/5/2023).

Martin menilai, meski ekspor diperbolehkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan perundang-undangan Pasal 9 ayat Bab IV butir 2 huruf d, namun cara kontrolnya masih belum jelas seperti apa.

"Seperti kasus minyak goreng yang dulu (kasus kelangkaan minyak goreng). Diatur ada DMO (Domestic Market Obligation) tapi ternyata bobol juga," ungkapnya.

Baca juga: 20 Tahun Ditutup Ekspor Pasir Laut Kembali Dibuka, Sejarah Kelam Masa Lalu Bakal Terulang?

Lebih lanjut politisi NasDem itu mengatakan, khususnya di Komisi VI yang bermitra dengan Kementerian Perdagangan, meminta pemerintah mengkaji ulang dan duduk bersama dengan berbagai pihak untuk menyusun kembali PP tersebut.

"Demi keselamatan lingkungan serta yang lainnya, kami minta (Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023) dikaji ulang," pungkasnya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menanggapi kebijakan baru tersebut melalui akun resmi Twitternya @susipudjiastuti, Minggu (28/5/2023).

Dihentikan Susi mengatakan, kebijakan baru pemerintah terkait pemanfaatan pasir laut akan berdampak pada kerugian lingkungan yang lebih besar. Karenanya, ia berharap pemerintah membatalkan kebijakan baru tersebut.

"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dg penambangan pasir laut," tulis Susi melalui akun Twitternya @susipudjiastuti dikutip Kompas.com, Senin (29/5/2023).

Pada Pasal 9 ayat 2 huruf d dalam Bab IV PP Nomor 26 Tahun 2023 disebutkan bahwa pemanfaatan pasir laut berupa reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha dan atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

“Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan,” bunyi Pasal 9 ayat 2 huruf d Bab IV PP Nomor 26 Tahun 2023, dikutip Senin (29/5/2023).

KKP melakukan penghentian kegiatan penambangan pasir yang tidak dilengkapi dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di perairan Pulau Rupat-Kepulauan Riau.

Sejarah Kelam

Sejarah kelam ekspor pasir laut sejak era Presiden Megawati Soekarno Putri hingga Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik eksploitasi pasir laut maupun dengan alasan semacam pemanfaatan sedimentasi hasil keruk, dilarang. Apalagi berorientasi ekspor.

Pengerukan pasir laut untuk dijual ke luar negeri kala itu jadi kontroversi. Ini karena aktivitas ini membuat kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Imbasnya, nelayan terpuruk karena hasil tangkapannya merosot.

Dampak yang lebih ekstrem lagi, ekspor pasir laut memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat pasirnya dikeruk dan makin diperparah dengan abrasi setelahnya.

Baca juga: Langkah Jokowi Buka Ekspor Pasir Laut Dinilai Dapat Timbulkan Abrasi Besar

Dilansir dari Harian Kompas, salah satu daerah yang marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau. Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura.

Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Pasir dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik.

Padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura. Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun.

Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi.

Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura.

Meskipun telah dilarang sejak 2003, ekspor pasir laut ke Singapura masih terus berlangsung secara ilegal setidaknya hingga 2012.

Penyebabnya adalah harga pasir di Singapura lebih mahal dua kali lipat dari harga di dalam negeri. Dikutip dari laman Mothership, impor pasir luat dari Indonesia membuat Singapura untung berlipat.

Luas daratan Singapura sebelum merdeka dari Malaysia adalah 578 kilometer persegi. Saat ini, luasnya sudah bertambah 719 kilometer alias sudah bertambah 25 persen lebih.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas