Ekonomi Merosot di Kuartal I 2023, Selandia Baru Resmi Masuk Jurang Resesi
PDB Selandia Baru turun 0,1 persen pada kuartal I tahun ini, sedangkan PDB pada kuartal IV 2022 juga merosot sebesar 0,7 persen.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, WELLINGTON – Selandia Baru resmi masuk ke dalam resesi teknis usai ekonomi negaranya terkontraksi pada kuartal I 2023.
Berdasarkan data yang dirilis badan statistik Selandia Baru pada Kamis (15/6/2023), menunjukkan Produk domestik bruto (PDB) negara itu turun 0,1 persen pada kuartal I tahun ini, sedangkan PDB pada kuartal IV 2022 juga merosot sebesar 0,7 persen.
Resesi teknis sendiri didefinisikan sebagai penurunan ekonomi atau kontraksi yang terjadi selama dua kuartal atau lebih, secara berturut-turut dalam jangka waktu satu tahun.
Baca juga: Melonjaknya Harga Pangan dan Energi Dorong Zona Eropa Masuk ke Jurang Resesi
"Cuaca buruk yang disebabkan oleh topan berkontribusi pada jatuhnya hortikultura dan layanan dukungan transportasi, serta layanan pendidikan yang terganggu," kata Jason Attewell, manajer umum di badan statistik Selandia Baru.
Sementara itu, sektor industri primer Selandia Baru mencatatkan penurunan sebesar 0,5 persen, didorong oleh perlambatan di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Sedangkan industri jasa secara keseluruhan turun tipis sebesar 0,6 persen, di mana industri transportasi, pos, dan pergudangan juga menyusut sebesar 2,2 persen.
Sehari sebelum badan statistik Selandia Baru merilis data terbarunya, Dana Moneter Internasional (IMF) sempat memperingatkan adanya potensi perlambatan ekonomi di negara itu.
"Ekonomi Selandia Baru berada di tengah-tengah perlambatan kebijakan yang diperlukan usai pemulihan pasca pandemi yang kuat," kata IMF pada Rabu (14/6/2023).
IMF juga memperingatkan terhadap bank sentral Selandia Baru yang beralih ke langkah-langkah pelonggaran kebijakan moneter, di mana lembaga itu menyebut Wellington masih harus membiarkan pintu terbuka untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut.
"Karena inflasi yang tidak dapat diperdagangkan terus berlanjut, ada sedikit ruang untuk menurunkan OCR dalam waktu lama," ujar IMF.
"Permintaan kembali meningkat, termasuk karena konsolidasi fiskal yang tidak mencukupi, dan inflasi yang terhenti di atas target akan meminta pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut," pungkas IMF.