ICMI Tegas Tolak Tembakau Sejajar Narkotika dalam RUU Kesehatan
Penggolongan tembakau dalam kategori zat psikotropika dan narkotika akan berimplikasi ke berbagai bidang Industri hasil tembakau (IHT).
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) secara tegas menolak pasal yang mengkategorikan tembakau sejajar dengan zat psikotropikan dan narkotika dalam RUU Kesehatan.
ICMI menganggap, penggolongan tembakau dalam kategori zat psikotropika dan narkotika akan mempengaruhi upaya kesehatan dan berimplikasi ke berbagai bidang Industri hasil tembakau (IHT).
Diketahui, IHT memiliki sektor turunan yang cukup banyak mulai dari pedagang asongan hingga petani. IHT pun bukan hanya rokok tetapi beragam produk seperti obat, kosmetika, penyedap rasa, dan lainnya.
Baca juga: Lewat Panja RUU Kesehatan, Asosiasi Tembakau Minta DPR Tinjau Ulang RUU Kesehatan
Menurut Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI Zaenal Abidin, pemerintah dan DPR harus membahas RUU Kesehatan lebih mendalam dan komprehensif.
"Menurut data sebanyak 6,1 juta petani tembakau di Indonesia yang bergantung pada sektor pertembakauan dan nantinya dapat terancam dengan digulirkannya regulasi ini," kata Zaenal dalam keterangannya dikutip Kamis (15/6/2023).
Zaenal menekankan, perlunya dialog dengan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pemutakhiran Undang-Undang Kesehatan.
"Proses pembentukan Undang-undang maka dialog terbuka adalah suatu keniscayaan dan menjadi hak warga negara, yang sering disebut meaningful participation," ujar Zaenal.
Zaenal menjelaskan, warga negara didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Zaenal mengemukakan, dialog tersebut diperlukan karena ICMI menilai pembahasan selama ini tidak transparan dan terkesan terburu-buru.
Zaenal menyebut, ada beberapa catatan kritis ICMI pada proses penyusunan RUU Kesehatan antara pemerintah dan DPR.
Pertama, kata Zaenal, adanya upaya penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, rekomendasi bagi anggotanya yang berpraktik melayani masyarakat.
"Ini menjadi isu penting. Ditengarai RUU ini dapat menyebabkan terjadinya pemusatan kewenangan seluruh urusan kesehatan di Kementerian Kesehatan," tutur Zaenal.
Selanjutnya kedua, RUU Kesehatan mengancam kemandirian rumah sakit sehingga menjadi keberatan organisasi bidang kesehatan.
Hal ketiga, lanjut Zaenal, bergesernya basis pendidikan dokter spesialis dari universitas ke rumah sakit saja yang akan berakibat menurunkan mutu lulusannya dan mempengaruhi layanan kesehatan masyarakat.
Zaenal menambahkan, masalah lain yakni dibolehkannya korban pemerkosaan aborsi pada usia kehamilan 14 minggu.
Hal tersebut, menurut Zaenal, bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang hanya mentoleransi hingga batas usia kehamilan 6 minggu.
"Hilangnya kalimat akibat perkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan juga diperkirakan dapat menuai masalah kemudian hari," imbuh Zaenal.
"Pada pokoknya ICMI menilai RUU Kesehatan yang saat ini sedang menjadi polemik belum memperhatikan kepentingan masyarakat secara utuh," ujar Zaenal.
Kemudian, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialisasi Kedokteran Jiwa Indonesia Agung Frijanto berpendapat, rencana dihapuskannya UU Nomor18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa lalu hanya sedikit yang diakomodir dalam RUU Kesehatan dapat menjadi masalah baru.