Berdampak ke Usaha Kecil, Pemerintah Diminta Setop Pasal Pengamanan Zat Adiktif di RUU Kesehatan
Pasal 154 RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol akan mematikan usaha kecil.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, - Komunitas tembakau khawatir dengan pasal tembakau di dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan, seperti pasal 154 hingga pasal 158 dan pasal 457.
Pasal tersebut dinilai dapat berujung pada pelarangan total aktivitas pertembakauan dengan ancaman sanksi pidana.
Palpenk, Ketua Komunitas Pecinta Tabacum Nusantara Indonesia (KPTNI) mengatakan, pengaturan pengamanan zat adiktif di RUU Kesehatan sangat tidak logis dan menunjukkan inkosistensi pemerintah yang masih mengandalkan penerimaan negara dari tembakau.
Baca juga: Pakar Kebijakan: Penyetaraan Produk Tembakau dengan Narkotika Akan Picu Masalah Sosial
Hal ini mencuat dalam Diskusi Mbako yang digelar Thinkway ID bertajuk Regulasi Nirempati Mengancam Masa Depan Pertembakauan, Jumat (16/6) di Kopi Sakti, Jakarta Selatan.
"Kok bisa ya pemerintah dalam hal ini, Kemenkes sebagai pemrakarsa RUU Kesehatan ini bisa menabrak-nabrak peraturan pertembakauan yang sudah ada sebelumnya? Ketika masyarakat sedang mulai memulihkan ekonominya justru dihambat dengan regulasi yang ada. Kami komunitas pertembakauan berkomitmen untuk mengawal agar ekosistem pertembakauan tetap bisa tumbuh," ujar Palpenk dikutip dari Kontan, Minggu (18/6/2023).
Rohman Nisfi dari Komunitas Emas Hijau Kolektif memandang bahwa tembakau selalu mendapatkan stigma negatif. Padahal secara konkret, pembuat kebijakan dapat melihat realita bahwa tembakau memberikan dampak ekonomi luas di masyarakat.
"Apakah memang Pasal 154 RUU Kesehatan adalah upaya kesengajaan dari pemerintah untuk menyasar atau membunuh tembakau? Sudah sedari lama kampanye negatif terhadap tembakau terus digaungkan. Sekarang, tembakau dilemahkan dengan disamakan dengan narkotika. Legal dijadikan ilegal," ujar Rohman.
Bahrul, salah satu pelaku ekonomi ultramikro di Bekasi, meragukan komitmen pemerintah untuk memberdayakan kemandirian masyarakat yang hidupnya bergantung pada sektor pertembakauan.
Apalagi belakangan, baik di daerah maupun di perkotaan, tren penjualan tembakau tingwe cukup marak. Polemik Pasal 154 RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol akan mematikan usaha kecil.
"Harapan kami pemerintah bisa melihat usaha-usaha kecil, mikro pertembakauan yang sedang tumbuh. Kami tidak tahu harus menyampaikan suara keluh kesah kami ke mana terkait regulasi yang menindas ini," ujar Bahrul.
Informasi yang menyesatkan terkait ekosistem pertembakauan juga disebut telah terjadi sejak lama. Kampanye hitam dan intervensi asing yang terus menerus ditujukan untuk melarang total tembakau semakin masif. Semakin hari, ekosistem pertembakauan semakin ditekan.
"Kelompok-kelompok anti-tembakau dan intervensi sejak lebih dari satu dekade lalu terus berupaya untuk meniadakan ekosistem pertembakauan di Indonesia. Pertumbuhan ekosistem pertembakauan mulai dari hulu hingga hilir selalu dijegal. Dan, saat ini, lagi-lagi, ekosistem pertembakauan dihambat lewat regulasi. Salah satunya melalui Pasal 154 hingga Pasal 158 dan Pasal 457 di RUU Kesehatan," ujar Hananto Wibisono, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) yang menjadi narasumber Diskusi Mbako.
Masa depan ekosistem pertembakauan semakin terancam dengan keberadaan regulasi eksesif dan diskriminatif, seperti dalam pasal-pasal mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan.
Menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman berlakohol sebut Hananto, sama saja dengan upaya mendorong ilegalisasi mata pencaharian enam juta orang yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pertembakauan.
"Perekonomian masyarakat dan daerah turut bergerak. Pembangunan infrastruktur bahkan kesehatan disumbang dari tembakau. Tembakau adalah komoditas andalan ketika tidak ada tanaman yang bisa tumbuh di musim kemarau. Maka, tidak adil memposisikan tembakau sama dengan barang ilegal. Ini tidak boleh terjadi!," tegas Hananto. (Tendi Mahadi/Kontan)