Indef Proyeksi Suku Bunga The Fed Mentok di 5,5 Persen
Kebijakan menaikkan suku bunga The Fed secara agresif mampu menurunkan tingkat inflasi AS.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai Amerika Serikat cukup berhasil melakukan stabilisasi.
Menurutnya, kebijakan menaikkan suku bunga The Fed secara agresif mampu menurunkan tingkat inflasi AS.
“Suku bunga The Fed Juni ini 5,25 persen hasilnya adalah tingkat inflasi Juni drastis menurun menjadi 3 persen,” kata Eko dalam webinar ‘Surplus APBN Buat Siapa?’, Selasa (18/7/2023).
Baca juga: BI Diprediksi Tahan Kenaikan Suku Bunga, Analis: Sektor Properti Siap Menggeliat
Eko mengatakan pada Juli 2022 tingkat inflasi di AS terpaut tinggi mencapai 8,5 persen.
“Pengetatan suku bunga yang dilakukan The Fed ini mampu menurunkan tingkat inflasi, mereka fokus menjaga stabilisasi ketimbang growth,” imbuhnya.
Indef memandang bank sentral AS The Fed akan menahan suku bunga karena tingkat inflasi yang sudah terjaga.
“Saya melihat The Fed ini tidak akan agresif lagi, mungkin hanya berhenti di 5,5 persen atau ada yang menproyeksi juga 5,75 persen,” kata Eko.
Dia meyakini kenaikan suku bunga The Fed bergantung pada stabilitas inflasi.
“Kalau ini cukup stabil di 5,5 persen mungkin ditahan sebentar lalu inflasi stabil dia akan melakukan relaksasi (penurunan suku bunga) diawali di 2024,” pungkasnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan, inflasi di Amerika Serikat sudah mulai turun tapi penurunan lambat dan ada risiko sektor keuangan dengan gagal bayar dari beberapa bank.
Gubernur BI Perry Warjiyo memprediksi The Fed masih akan menaikkan suku bunga untuk meredam likuditas ketat.
"Fed dan otoritas terkait sudah bisa mulai redakan keketatan likuditas, di situlah dari semula kami perkirakan terminal rate The Fed semulai kami perkirakan 5,25 persen, ada kemungkinan base line kami Juli nanti naik jadi 5,5 persen," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (22/6/2023).
Perry menceritakan, Amerika Serikat adalah negara paling cepat lakukan vaksinasi, sehingga permintaannya cepat naik sangat kuat.
"Dari sisi suplainya memang di awal-awal di Amerika tentu saja terganggu dengan mobilitas. Tetapi, juga terganggu dengan ketegangan baik perdagangan dengan China, itu terlihat kenapa impor Amerika dari China menurun, demikian ekspor dari Amerika ke China menurun, itu menganggu juga suplainya," katanya.
Selanjutnya, perang Rusia dengan Ukraina pada tahun lalu menurunkan agregat suplai dari sisi penawarannya.
"Di Amerika suplainya menurun karena Covid-19 dan perang dagang China. Sementara, permintaan naik sangat cepat, itu kenapa di Amerika inflasinya sangat tinggi, ini Amerika jarang inflasi di atas 2 persen pernah capai 9 persen, melandasi Fed agresif naikkan suku bunga," tutur Perry.