Debat Panas Faisal Basri Vs Jokowi, Pengamat Energi: Tidak Ada Yang Salah, Tergantung Sudut Pandang
Perdebatan panas ekonom UI Faisal Basri dengan Presiden Joko Widodo terkait program hilirisasi ramai menjadi perhatian publik.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perdebatan panas antara Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri dan Presiden Joko Widodo terkait program hilirisasi ramai menjadi perhatian publik.
Perdebatan ini bermula dari pernyataan Faisal Basri yang menyebut bahwa program hilirisasi nikel yang kini masif digarap Pemerintah, dianggap menguntungkan China.
Namun, Presiden Jokowi menampik tudingan Faisal, dan menyebut pandangan ekonom senior itu tak berdasar.
Menurut Jokowi, kebijakan hilirisasi industri telah mendongkrak nilai ekspor sumber daya alam, salah satunya nikel yang melonjak menjadi Rp510 triliun setelah pemerintah menyetop ekspor bijih nikel.
Lewat nilai ekspor yang besar itu, pemerintah akan mendapat pemasukan yang besar dari sisi pajak, royalti, bea ekspor, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Jika tidak ada program hilirisasi, komoditas nikel saat diekspor dalam bentuk bahan mentah, kira-kira hanya Rp17 triliun per tahun.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan, pada dasarnya pandangan antara Faisal Basri dan Joko Widodo tidak ada salah.
Hanya saja, bagaimana seseorang melihat sudut pandang nilai dari program hilirisasi.
"Sebenarnya Pak Faisal tidak salah, Pak Jokowi juga tidak salah. Ini tergantung pemahaman dari nilai tambah," ungkap Fahmy kepada Tribunnews, Selasa (15/8/2023).
Fahmy pun juga membenarkan pandangan Faisal terkait margin keuntungan hasil ekspor yang mengalir ke Indonesia dan China yang tak berimbang.
Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.
Baca juga: IMF Minta RI Buka Lagi Keran Ekspor Nikel, Begini Respons Sri Mulyani
Maka, adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya, yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.
Baca juga: Faisal Basri Sanggah Jokowi soal Hilirisasi Nikel Beri Untung Rp 510 T: Angka-angkanya Tidak Jelas