Asosiasi Blockchain Indonesia: Exchanger Asing Belum Berizin Berpotensi Merugikan
kirim surat ke kemendag, ABI mengadukan terkait banyaknya exchanger asing yang beroperasi di Indonesia
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) mengaku telah mengirimkan surat ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan. Surat tersebut merupakan aduan terkait exchanger asing kripto di Indonesia.
Supervisory Board ABI Pandu Sastrowardoyo mengatakan pihaknya mengadukan terkait banyaknya exchanger asing yang beroperasi di Indonesia namun belum terjamah regulasi yang ada.
Para exchanger kripto asing ini juga banyak yang belum terdaftar di Bappebti. Salah satu yang diadukan adalah Binance.
Baca juga: Teknologi Blockchain Mampu Pangkas Biaya Transaksi Mata Uang Asing
"Binance cuma satu contoh dari 300 yang sudah disebutkan yang penggunanya besar di Indonesia, ini jadi perhatian sendiri dari satu pemerintahan. Dari industri sendiri kita sudah kirimkan surat ke Bappebti terkait exchanger's ini," tuturnya.
Pandu mengaku, ABI telah membuat kajian untuk menghitung berapa kerugian negara jika praktik ini terus berlanjut. Salah satu bentuk kerugiannya adalah keluarnya arus modal di dalam negeri.
Sebab pada praktiknya ada exchanger kripto asing yang belum terdaftar di Bappebti, tapi bisa diakses oleh para investor kripto. Transaksi yang dilakukan investor lokal kemudian diproses di sistem exchanger di luar negeri.
Baca juga: Perluas Pasar, UMKM Didorong Adopsi Teknologi Web3 dan Blockchain
"Contohnya ada exchangers asing yang belum terverifikasi di Indonesia tapi sangat mudah diakses dan banyak layanan-layanan lain yang di Indonesia belum diatur. Sehingga banyak yang tidak melakukan sehingga kembali Indonesia mereka untuk beli koin-koin besar seperti Bitcoin dan Etherium terus mereka menggunakan layanan lainnya di luar negeri dan ini jadi perhatian sendiri," terangnya.
Pandu menilai ada celah yang membuat negara rugi karena banyak exchanger asing belum terdaftar. Menurutnya salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pemblokiran baik websitenya maupun aplikasinya.
"Ada beberapa yang saya tahu yang sudah kena ban websitenya, tapi aplikasinya masih bisa di install dan digunakan. Jadi kembali kalau kita dari industri mencoba membuat kajian perlihatkan seperti apa kerugian negara karena kita tahu pendapatan negara untuk pajak kripto pada bulan Mei-September tahun lalu cukup besar. Jadi potensi bisa lebih besar lagi kalau ini terjaring di Kemenkeu," tutupnya.
Secara terpisah Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko mengakui bahwa penyerapan pajak kripto nasional belum begitu optimal.
Dia menjelaskan belum optimalnya penerimaan pajak kripto tidak lepas dari masih lesunya pasar kripto di 2022.
"Transaksi kripto di 2022 itu kan jauh menurun bila dibandingkan 2021. Pada 2021 itu kan Rp. 859,9 triliun dan 2022 sekitar Rp. 300an triliun. Artinya kan potensinya memang menurun di tahun 2022," tuturnya.
"Tapi kan pengenaan pajak baru dikenakan di Mei 2022. Nah kalau kita bandingkan nilai transaksi Mei-Desember itu kan juga relevan dengan angka itu. Artinya tidak ada transaksi yang tidak kena pajak," tambahnya.
Pemerintah sendiri menetapkan tarif atas transaksi aset kripto sebesar 0,1 persen untuk PPh Pasal 22 dan 0,11 persen untuk PPN final. Tarif itu untuk untuk transaksi di exchanger dalam negeri yang sudah terdaftar di Bappebti.