Soal Kabar Pertalite Akan Diganti Pertamax Green 92, Ahok Bilang Begini
Pertamina mengkaji peluang menaikan kadar oktan Pertalite (RON 90) dengan menambahkan etanol 7 persen agar menjadi Pertamax Green 92.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) tengah mengkaji peluang menaikan kadar oktan Pertalite (RON 90) dengan menambahkan etanol 7 persen agar menjadi Pertamax Green 92.
Belakangan muncul isu Pertalite akan dihapus dan digantikan Pertamax Green 92, lalu Pertamax dicampur etanol 5 persen menjadi Pertamax Green 95.
Sampai saat ini Pertalite masih menjadi Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan bensin RON 88 atau Premium.
Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan yang diteken tanggal 10 Maret 2022.
Komisarius Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama enggan menjawab pertanyaan apakah Pertalite tetap menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan bersama dengan solar subsidi setelah kadar oktannya dinaikkan ke RON92.
Terkait formulasi harganya juga dia tidak mau menjabarkan. “Itu bisa ditanyakan ke Bu Dirut (Nicke Widyawati) dan Menteri ESDM (Arifin Tasrif),” ujar Ahok kepada Tribunnews, Jumat (1/9/2023).
Ahok mengaku selama ini tidak pernah ada pembahasan Pertalite akan dihapus digantikan Pertamax Green 92.
“Tidak pernah ada pembicaraan Pertamax Green menggantikan Pertalite. Saya kira kalian salah kutip pernyataan Bu Dirut," imbuhnya.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan, produk Bahan Bakar Mesin (BBM) RON 90 bakal dinaikkan statusnya menjadi BBM RON 92 mulai tahun depan.
Baca juga: Jangan Buru-buru, Menteri ESDM Bilang Pertalite Diganti Pertamax Green 92 Masih Sebatas Kajian
"Sebetulnya ini Pertalite kita campur dengan etanol, naik oktannya daru 90 ke 92. Sehingga nantinya di tahun depan hanya ada tiga produk," kata Nicke saat Raker bersama Komisi VII, Rabu (30/8/2023).
Nicke bilang, tahun depan Pertamina bakal mengeluarkan Pertamax Green 92 yang diklaim bisa menurunkan karbon emisi bahkan menurunkan impor gasoline.
"Aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) oktan number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91. Jadi ini sudah sangat pas," jelasnya.
Dia bahkan minta dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bantu Pertamina dalam mengeluarkan produk Pertamax Green 92.
Baca juga: Perubahan Pertalite jadi Pertamax Green 92, Dirut Pertamina: Masih Usulan, Belum Diputuskan
"Oleh karena itu, di 2024 mohon dukungan kami akan keluarkan lagi Pertamax green 92," ucap dia.
Selain itu, Nicke bilang nantinya ada tiga produk BBM yang tersedia yaitu Pertamax green 92 campur RON 90 (pertalite) dengan 7 persen etanol (E7).
"Kedua, Pertamax green 95, mencampur Pertamax dengan 8 persen etanol. Ketiga, Pertamax Turbo," ucap dia.
"Jadi, ada 2 green gasoline, green energy, low carbon yang jadi produk dari Pertamina," imbuhnya.
Pencampuran Etanol
Pakar politik energi Muhammad Badaruddin menjelaskan kewenangan spesifikasi BBM yang beredar di pasaran ada pada Kementerian ESDM, sementara itu soal kapasitas produksi BBM secara nasional berada dibawah Pertamina.
Menurutnya, penerapan standar Euro 4 tentunya akan berimplikasi pada rencana penghapusan BBM dengan Oktan 90 (pertalite) yang saat ini konsumsinya paling besar dan itu butuh persiapan yang matang.
Baca juga: Bensin Etanol Diujicoba ke Innova Reborn Transmisi Matik
“Dari sisi teknis, kemampuan Pertamina untuk memproduksi BBM dengan oktan tinggi 95 dan 98 yang sesuai standar Euro 4 masih sangat dimungkinkan,” kata Badar dalam catatannya, Selasa (29/8/2023).
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mencampur zat aditif seperti MTBE, HOMC, dan etanol yang telah banyak diterapkan di berbagai negara pada stok BBM.
Penggunaan zat-zat aditif tersebut relatif lebih murah jika dibandingkan dengan mengimpor BBM beroktan tinggi.
“Artinya, biaya produksi BBM oktan tinggi dapat ditekan dan jika pun pemerintah harus memberikan subsidi, maka besaran subsidi tidak akan terlalu besar,” urainya.
Meskipun demikian, imbuh Badaruddin, ada beberapa catatan terkait zat-zat aditif tersebut.
“Pertama, soal MTBE, Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk pemerintah pada tahun 2014 telah merekomendasikan MTBE sebagai campuran BBM untuk mendukung transisi dari premium ke pertamax karena tidak membutuhkan biaya infrastruktur tambahan dan lebih ramah lingkungan,” ujar Badar.
“Sayangnya, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah melalui Pertamina lebih memilih menggunakan HOMC yang hanya mampu menghasilkan BBM dengan oktan paling tinggi 92 (pertamax), belum memenuhi standar Euro 4,” sambungnya.
Kedua, terkait etanol yang menjadi tren global dan baru-baru ini juga diperkenalkan di Indonesia melalui Pertamax Green 95 ternyata menyimpan potensi masalah.
Sebuah riset ilmiah tahun 2014 menemukan bahwa penggunaan etanol sebagai campuran BBM meningkatkan kandungan zat berbahaya Ozone (O3) di kota Sao Paulo, Brazil yang mendorong lebih banyak kabut asap (smog).
Hal serupa terjadi di Amerika Serikat. Penggunaan etanol dalam BBM menciptakan kabut asap lebih banyak pada saat musim panas, sehingga pemerintah AS menerapkan kebijakan ‘summertime ban’ yang melarang penjualan BBM campuran etanol sepanjang musim panas.
“Yang tidak kalah penting lainnya adalah, BBM dengan campuran etanol membutuhkan infrastruktur kilang, pipa, dan tanki BBM khusus karena sifat higroskopis etanol. Dengan demikian nantinya ada biaya tambahan dari sisi infrastruktur,” urainya.
Terakhir, Badar berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk terus menunda penerapan BBM beroktan tinggi sesuai standar Euro 4 tentunya patut dipertanyakan karena ada banyak alternatif untuk menghasilkan BBM beroktan tinggi.
Nampaknya, aspek politis menjadi pertimbangan utama pemerintah untuk tidak mendorong pemenuhan BBM standar Euro 4.
Penghapusan BBM bersubsidi saat ini dikhawatirkan oleh para pengambil kebijakan akan memicu kegaduhan di masyarakat dan secara politis tidak menguntungkan.
“Jika memang demikian, maka logika tersebut adalah kekeliruan besar. Biaya kesehatan dari polusi udara yang dihasilkan lewat BBM kualitas rendah terus meningkat dan cepat atau lambat akan menjadi isu politik yang tidak bisa dihindari,” tukasnya.
--