Praktik Social Commerce Membahayakan Indonesia, Begini Penjelasan Mendag Zulkifli Hasan
Mendag Zulkifli Hasan mengatakan, praktik bisnis social commerce membahayakan perekonomian Indonesia dan bisa mematikan bisnis UMKM
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan, praktik bisnis social commerce membahayakan perekonomian Indonesia.
Dia memaparkan, teknologi algoritma pada bisnis social commerce bisa mengidentifikasi preferensi dari konsumennya, kemudian diarahkan ke produk mereka sendiri.
Dengan demikian, praktik social commerce secara langsung akan merugikan pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) Tanah Air.
Mendag menyampaikan hal tersebut dalam sambutannya di acara "Diseminasi Perizinan Berusaha di Bidang Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga" di Jakarta, Senin (11/9/2023).
"Ada pelaku UMKM berteriak, kemudian pelaku usaha kecantikan teriak karena social commerce itu bahaya juga. Dia bisa mengidentifikasi pelanggan dengan big datanya. Ibu ini suka pakai bedak apa, suka pakai baju apa," kata pria yang akrab disapa Zulhas.
"Nanti yang produk dalam negeri begitu masuk iklan di social commerce, bisa sedikit (munculnya, red). Yang produk dia (hasil produksi social commerce tersebut) langsung masuk ke ibu-ibu yang teridentifikasi dan terdata," sambungnya.
Baca juga: Pemerintah Bakal Bedakan Perizinan Penjualan Social Commerce dengan E-Commerce
Maka dari itu, ia menegaskan social commerce harus ditata regulasinya karena kalau tidak, UMKM Tanah Air bisa mati usahanya.
"Sekarang kami lagi menata mengenai dampak dari social commerce. Kalau tidak ditata, habis kita. Bisa mati (usahanya)," ujar Zulhas.
Ditemui usai acara, diamengungkap ada peluang melarang salah satu social commerce, yakni TikTok Shop.
Baca juga: Social Commerce Dianggap Memonopoli, Pengamat: Justru Untungkan Penjual dan Konsumen
Peraturan mengenai social commerce termasuk di dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE) yang sedang digodok pemerintah.
Terbaru, pria yang akrab disapa Zulhas itu mengatakan, ia melakukan rapat dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) mengenai revisi Permendag 50/2020.
Ia berujar, salah satu pembahasannya mengenai rencana melarang bisnis media sosial dan e-commerce berjalan bersamaan atau dikenal juga dengan sebutan social commerce.
"Izinnya tidak boleh satu. Dia media sosial jadi sosial commerce. Ini diatur. Apakah kita larang aja ya atau gimana ya, ini akan dibahas nanti," kata Zulhas.
"Saya nanti akan rapat di Mensesneg jam setengah 4, membahas termasuk revisi Permendag 50/2020," lanjut Zulhas.
TikTok Shop Ditolak Menteri Koperasi dan UKM
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki keberatan jika platform media sosial TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.
Ia mengatakan, TikTok boleh saja berjualan, tetapi tidak boleh disatukan dengan media sosial.
Dari hasil riset dan survei yang dia sebutkan, orang yang berbelanja di TikTok Shop telah dinavigasi dan dipengaruhi oleh perbincangan di media sosial TikTok.
"Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli," kata Teten dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (6/9/2023).
Ia mengatakan, penolakan serupa telah dilakukan Amerika Serikat dan India.
"India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan," ujar Teten.
"Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan," lanjutnya.
Selain itu, Teten juga mengatakan pemerintah perlu mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri bisa bersaing di pasar digital Indonesia.
Baca juga: Larangan Impor Produk Cross Border di Bawah Rp 1,5 Juta untuk Lindungi UMKM Lokal
Dalam cross border commerce, ritel dari luar negeri bisa menjual produknya langsung ke konsumen.
Teten tak ingin itu terjadi lagi. Jadi, produk dari ritel luar negeri harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dulu. Setelah itu, barangnya baru boleh dijual di pasar digital Indonesia.
"Kalau mereka langsung menjual produknya ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM kita harus mengurus izin edar, SNI, sertifikasi halal, dan lain sebagainya," kata Teten.
Pemerintah juga disebut perlu melarang platform digital untuk menjual produk sendiri atau produk yang berasal dari afiliasinya.
Dengan begitu, pemilik platform digital tidak akan mempermainkan algoritma yang dimilikinya untuk menghadirkan praktik bisnis yang adil.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu mengatakan, pemerintah juga harus melarang aktivitas impor untuk produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Pemerintah, kata Teten, juga perlu mengatur tentang harga barang yang bisa diimpor ke Indonesia.
Ia mengatakan, hanya barang yang harganya berada di atas 100 dolar AS yang nantinya diperkenankan masuk ke Indonesia.
“Pemerintah juga perlu melarang barang yang belum diproduksi di dalam negeri meski harganya berada di bawah 100 dolar AS. Tujuannya adalah agar barang-barang tersebut bisa diproduksi oleh UMKM tanah air,” ujar Teten.