Dukung Transisi Energi di Indonesia, PLN Targetkan Emisi Nol Bersih pada 2060
Upaya dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan menjadi salah satu fokus dunia global. PLN berusaha lebih banyak memanfaatkan energi ramah lingkungan
Editor: Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sektor energi turut berperan penting dalam mewujudkan target Perjanjian Paris tentang kenaikan suhu global yang tak lebih dari 1,5o celsius.
Upaya dekarbonisasi pada sektor ketenagalistrikan pun menjadi salah satu fokus dunia global.
Perusahaan-perusahaan yang banyak memanfaatkan batu bara seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantas berusaha lebih banyak memanfaatkan energi ramah lingkungan.
PLN sendiri mengaku sudah melakukan hal itu sebelum Indonesia dinyatakan menerima pembiayaan dari JETP.
“Jadi masa itu (PLN) termasuk satu dari enam utilitas di Asia Pasifik yang pertama kali menyatakan komitmen tersebut. Jadi sebenarnya tanpa ada JETP pun kita sudah memiliki ambisi ke sana,” ujar Executive Vice President Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani di acara Katadata Sustainability Action for Future Economy (SAFE) 2023 Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (26/9).
Baca juga: Hadapi Persaingan Bisnis, Ini yang Dilakukan PLN IP
Kamia menegaskan bahwa pada 2021 PLN telah berkomitmen mendukung target Emisi Nol Bersih pada 2060.
Dijelaskan Kamia, PLN memiliki rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang lebih mengutamakan energi terbarukan dibanding energi fosil.
Itu adalah RUPTL pertama sepanjang sejarah Indonesia yang memfokuskan diri pada energi hijau.
RUPTL tersebut merencanakan sebanyak 20,9 gigawatt atau 52 persen kapasitas pembangkit listrik yang dibangun tahun 2021-2030 berasal dari energi terbarukan.
Pada sisi lain, JETP menargetkan emisi pada tahun 2030 tidak lebih dari 290 metrik ton CO2.
Pemensiunan dini pembangkit berbasis batu bara pun tak terelakkan.
Baca juga: Profil Agus Martowardojo, Mantan Gubernur BI yang Kini Jabat Komisaris Utama di GoTo dan PLN
Kamia memaparkan, sebagai negara yang sedang bertumbuh, pemakaian listrik per kapita di Indonesia hanya 1,3 megawatt jam (MWh) per tahun. Angka itu lebih rendah dibanding rata-rata pemakaian listrik per kapita global yang mencapai 3,3 MWh per tahun.
Kebutuhan listrik pun diprediksi terus meningkat, sementara pada saat yang sama transisi energi harus dilalui secara bertahap.
“Dalam proses bertahap itu tentu masih ada pembangkit fosil yang masih menyala,” ujar Kamia.
Pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan perluasan pemanfaatan energi dilakukan dengan penuh persiapan oleh PLN.
Salah satunya, menyiapkan divisi khusus yang menangani proses transisi energi dan bekerja intensif menangani pekerjaan terkait pendanaan.
Baca juga: Dirut PLN Paparkan Konsep Transisi Energi Menuju COP28 ke Presiden Jokowi
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengungkapkan, pihaknya bakal segera menyelesaikan proses kurasi proyek-proyek yang akan didanai JETP.
Proyek-proyek tersebut akan tergabung dalam dokumen rencana kebijakan dan investasi komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP).
Akan ada lima kategori proyek dalam dokumen tersebut, di antaranya pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dan pengurangan pembangkit listrik tenaga fosil.
Sementara itu peneliti International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), Ping Yowargana menyatakan negara-negara maju telah menikmati kemajuan berkat kegiatan pembangunan yang padat karbon.
Untuk itu, kebutuhan pendanaan juga seharusnya menjadi tanggung jawab negara-negara maju, bukan hanya Indonesia.