Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemerintah Diminta Pisahkan Pembahasan RPP Produk Tembakau dari UU Kesehatan

Saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang membahas RPP sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan.

Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Pemerintah Diminta Pisahkan Pembahasan RPP Produk Tembakau dari UU Kesehatan
Istimewa
Pengolahan daun tembakau. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan dapat memisahkan pembahasan produk tembakau dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar dapat memisahkan pembahasan produk tembakau dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

"Dengan demikian dapat melibatkan pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT) nasional sebagai mitra pemerintah dalam memberikan masukan dalam pembahasan yang transparan dan akuntabel serta mempertimbangkan kearifan lokal, besaran ekonomi dan penerimaan negara, serta serapan tenaga kerja dari IHT nasional beserta industri terkait lainnya," kata ketua GAPERO Surabaya, Sulami Bahar, Rabu (4/10/2023).

Diketahui, saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang membahas RPP sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan. Di dalam klausul aturan tersebut, pemerintah akan mengatur produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU Kesehatan.

Baca juga: Asosiasi Dukung Pemerintah Optimalkan Sosialisasi Cegah Misinformasi Produk Tembakau Alternatif

Sulami Bahar menegaskan, apabila pemerintah dalam hal ini Kemenkes memaksakan dan tetap mengimplementasikan RPP Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, maka bisa dipastikan akan ada banyak IHT nasional yang bakal mengalami gulung tikar.

"Saat ini jumlah IHT di Jawa Timur mencapai 538 industri dengan jumlah buruh sekitar 186 ribu tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja tersebut mencapai 60 persen terhadap nasional yang mencapai sekitar 360 ribu tenaga kerja. Adapun jumlah produksi rokok saat ini secara nasional sebesar 364 miliar batang per tahun. Dengan perjalanan waktu jumlah tersebut turun terus, pasti akan terjadi gulung tikar," kata Sulami Bahar.

Sulami Bahar mencontohkan beberapa aturan UU Kesehatan yang tumpang tindih dengan kementerian lain, misalnya kewajiban standarisasi produk oleh IHT di satu lembaga yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Padahal di Indonesia ada 9 lembaga/laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan PP 109/2012.

Menurut Sulami Bahar, kalau hanya satu lembaga itu akan mempersulit apalagi hanya BPOM yang seharusnya mengurusi obat dan makanan. Ini kan seharusnya diatur oleh kementerian perindustrian, tetapi dicaplok oleh kesehatan.

Berita Rekomendasi

Bahkan dalam RPP itu, lanjutnya, ada menyinggung soal peningkatan tarif cukai yang seharusnya diatur oleh Kemenkeu, termasuk soal aturan CSR, dimana IHT dilarang untuk mempublikasi kegiatan CSR, sementara IHT punya kewajiban CSR, larangan menjual rokok ketengan, minimal kemasan 20 batang/bungkus.

"Klausul pengaturan tersebut sangat menakutkan bagi ekosistem pertembakauan terutama pasal tentang zat adiktif berupa tembakau. Hal ini seolah membuat tembakau sebagai barang terlarang," tegas Sulami Bahar.

Di lain sisi, kata Sulami Bahar, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah sangat tepat dalam hal pengendalian, tetapi malah membuat RPP yang sangat merugikan industri dan pekerja IHT.

"Bahkan RPP yang saat ini sedang digodog Kemenkes banyak pasal yang tumpang tindih dengan regulasi kementerian bidang lain, seperti dengan Kemenkeu, Kemendag dan Kemenperin,” terang Sulami Bahar.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan dalam RPP terkait pengaturan produk tembakau, sinergi antar kementerian dan lembaga adalah hal yang utama.

Menurut Nirwala, dalam pembahasan aturan pengendalian, ada 2 instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk mengahasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait.

"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Nirwala.

Nirwala juga mengatakan sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.

“Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90 persen, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, dimana, siapa dan bagaimana implementasinya,” katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas