YLBHI: MK Tolak Gugatan UU CIpta Kerja Bagian dari Orkestrasi Politik Rezim Jokowi
YLBHI menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan orkestrasi politik rezim Jokowi.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan orkestrasi politik rezim pemerintahan Presiden Jokowi.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan rezim Jokowi sudah campur tangan terhadap independensi lembaga yudikatif. Campur tangan itu mulai dari adanya ikatan keluarga antara Presiden Jokowi dengan Ketua MK Anwar Usman, hingga pencopotan hakim konstitusi Aswanto.
"Putusan MK UU Cipta Kerja adalah hasil dari orkestrasi politik campur tangan rezim pemerintahan Jokowi terhadap independensi lembaga Yudikatif melalui upaya pelemahan independensi MK," ujar Isnur, Rabu (4/10/2023).
"Yang dilakukan dengan revisi UU MK, pemberian bintang jasa kepada para hakim MK aktif, dan pemberhentian paksa hakim Aswanto, termasuk konflik kepentingan ketua MK yang kini menjadi ipar Presiden," sambungnya.
Isnur juga menekankan, putusan MK yang mempertahankan UU Cipta Kerka adalah bukti nyata robohnya independensi MK dan bentuk kongkrit pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi UUD 1945.
Ia juga mengatakan putusan itu menunjukkan sikap MK yang tidak konsisten dalam menjaga putusannya sendiri sebab tidak sejalan dengan putusan MK sebelumnya Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Baca juga: MK Tolak Gugatan UU Cipta Kerja, YLBHI: Sudah Jadi Penjaga Kepentingan Kekuasaan dan Oligarki
"MK bermain-main dengan pelanggaran konstitusi dan penghancuran negara hukum. Putusan UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan kegagalan MK menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi. MK kini justru bertransformasi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan dan oligarki," tandasnya.
Sebagaimana diketahui, pada Senin (2/10/2023) MK menolak lima gugatan soal UU Ciptaker karena dalil para pemohon dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga: Tolak Gugatan Uji Formil UU Cipta Kerja, Partai Buruh: MK Jilat Ludah Sendiri dan Tak Konsisten
MK membenarkan alasan kegentingan yang memaksa dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang akhirnya menjadi undang-undang itu dengan pertimbangan bahwa terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukraina dan krisis ekonomi akibat adanya Covid-19.
Baca juga: Partai Buruh Bakal Dukung Capres yang Siap Teken Kontrak Politik Cabut UU Cipta Kerja
MK juga mengabaikan gugatan mengenai fakta diabaikannya prinsip partisipasi bermakna dalam pembentukan undang-undang atas alasan terminologi tersebut hanya berlaku pada pembentukan undang-undang bukan Perppu yang notabene membutuhkan waktu cepat.
Pengabaian ini menurut YLBHI, membenarkan praktik orkestra culas pemerintah dan DPR menginjak-injak nilai-nilai demokratis yang seharusnya selalu dijunjung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.