Produk Tembakau Legal, RPP Kesehatan Diminta Tidak Bersifat Melarang
Aturan pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dalam RPP UU Kesehatan diminta dikaji ulang.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan dinilai perlu dikaji ulang.
Sebab, bunyi aturan tersebut dinilai berisi banyak larangan bagi produk tembakau sehingga bertentangan dengan payung hukumnya dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ada dua isu yang menjadi pertanyaan. Pertama, apakah UU Kesehatan menyamakan produk tembakau seperti narkotika dan psikotropika? Kedua, apakah pengaturan produk tembakau dalam UU Kesehatan dan turunannya merupakan bentuk pelarangan atau sebenarnya kita memaknainya sebagai pengamanan?” tanya Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Cahyani Suryandari pada acara “Telaah RPP tentang UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif” oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), ditulis Jumat (13/10/2023).
Cahyani menyebut, untuk pertanyaan pertama terjawab bahwa produk tembakau adalah produk legal dan berbeda dengan narkotika dan psikotropika.
Legalitas produk tembakau telah dinyatakan tegas dalam enam putusan MK. Selain itu, pasal yang sempat menyetarakan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang sempat muncul ketika UU Kesehatan masih berupa draft telah dihilangkan saat pembahasan di DPR.
“Kemudian, untuk pertanyaan kedua. Apakah aturan produk tembakau di RPP Kesehatan ini maknanya bersifat larangan atau pengaturan? Nah, ini karena keduanya beda makna. Sedangkan di dasar hukumnya, yaitu UU Kesehatan, di pasal 152 itu jelas dikatakan bahwa aturan bagi pengamanan zat adiktif produk tembakau adalah dalam bentuk PP, maka semestinya berbentuk aturan, bukan pelarangan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dari putusan MK, rokok bukan barang ilegal sehingga tidak dilarang untuk diiklankan meskipun dengan syarat tertentu.
Baca juga: Gappri Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Tarif CHT di 2024: Industri Hasil Tembakau Lagi Injury
Karena itu, sebagai bentuk pengaturan dan pengamanannya, jika mengacu pada peraturan yang berlaku saat ini, iklan rokok itu diperbolehkan. Misalnya, jika di TV, mulai dari jam 10 malam sampai jam 5 pagi. Lalu, tidak menampilkan adegan orang merokok, tidak memperlihatkan bentuk rokoknya, dan lainnya.
“Tapi, ya memang, tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan, tidak ada larangan untuk diperjualbelikan, sehingga rokok adalah barang legal. Saya melihat putusan MK itu untuk melindung petani tembakau dan produk,” jelas Cahyani.
Lagi pula, ia melanjutkan, sekalipun bersifat melarang, PP tidak bisa memberikan sanksi pidana.
Baca juga: Pakar Hukum: Aturan Produk Tembakau Seharusnya Tidak Masuk RPP UU Kesehatan
“Tidak bisa sanksi pidana itu dikenakan dalam instrumen Peraturan Pemerintah. Konsekuensi pidana harus dalam bentuk Undang-Undang,” terangnya.
Selain itu, Cahyani mengatakan bahwa kunci dari pengaturan produk tembakau adalah edukasi. Oleh karena itu, diharapkan ada pembahasan bersama dalam menyusun peraturan ini. ”Kita duduk bersama untuk membicarakan sejauh mana batasan pengaturannya,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Mahbub Ma’afi, mengatakan PBNU memberikan penolakan keras sejak munculnya pasal yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di draft UU Kesehatan waktu lalu.
Penolakan ini juga disuarakan terhadap isi aturan produk tembakau di RPP Kesehatan.
Baca juga: Pemerintah Diminta Pisahkan Pembahasan RPP Produk Tembakau dari UU Kesehatan
“Di RPP ini, (produk tembakau) seolah mau dimasukan (upaya penyetaraan tembakau dengan narkotika) lagi. Padahal, kalau yang diinginkan adalah peraturannya pakai yang lama saja. Tidak usah diutak-atik lagi,” ujarnya.
Berbagai pihak merasa bahwa kerasnya Kementerian Kesehatan terhadap produk tembakau telah melampaui kadar batasnya.
“Ini perlu kita kritisi. Padahal semua tahu bahwa ada pendapatan yang sangat luar biasa yang dihasilkan dari industri tembakau untuk pemerintah,” paparnya.