Menteri Suharso: Studi Kelayakan LRT Bali Ditargetkan Rampung Akhir 2023
Suharso Monoarfa mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan studi kelayakan atau feasibility study LRT di Bali
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah tengah mengupayakan pembangunan proyek moda transportasi massal Light Rail Transit (LRT) di Bali pada 2024.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan studi kelayakan atau feasibility study (FS), dan ditargetkan selesai akhir tahun ini.
"Sedang disiapkan (feasibility study) mudah-mudahan akhir tahun ini bisa selesai," ucap Suharso saat ditemui dalam acara Kompas100 CEO Forum di Shangri-La Hotel, Jakarta, Senin (23/10/2023).
Baca juga: Menhub akan Tata Ulang Rute Angkutan Feeder LRT Palembang, Ada Penambahan Tiga Titik Baru
Nantinya LRT ini akan difokuskan untuk akses menuju bandara. Namun, LRT ini tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Suharso melanjutkan, harga tiket LRT Bali berpotensi tidak terjangkau oleh masyarakat jika pembangunannya dibiayai sepenuhnya dari skema bisnis.
Untuk itu, lanjut Suharso, pihaknya melihat dalam pembangunan LRT Bali nantinya ada beberapa komponen yang akan didanai oleh negara.
"Buat kami di Bappenas, menghitung ada bagian dari barang publik di sana yaitu misalnya right of way itu kalau bisa dibiayai oleh negara, oleh pemerintah," papar Suharso.
"Kalau tidak (dibantu negara), nanti harga tiketnya itu nggak affordable," pungkasnya.
Baca juga: LRT Jabodebek Alami Gangguan Akibat Adanya Perawatan, 28 Perjalanan Dibatalkan
Seperti diberitakan sebelumnya, proyek Light Rail Transit (LRT) di Bali diusulkan untuk dibagun di bawah tanah. Pembangunan ini akan memakan biaya tiga kali lipat dari proyek LRT pada umumnya.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana di Kementerian Bappenas (Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Ervan Maksum mengatakan, ada beberapa kendala pembuatan LRT di Bali yang membuat ongkos pembuatannya menjadi mahal.
Baca juga: RI Mau Lepas dari Jebakan Middle Income Trap Lewat Keanggotaan OECD
Diantaranya adalah aturan membuat bangunan di Bali yang tidak boleh melebihi pohon kelapa, tinggi bangunan di Bali juga tidak bisa lebih dari lima lantai dan ketika masyarakat Hindu sedang melakukan upacara keagamaan, tidak boleh ada sesuatu di atas lokasi upacara tersebut.
Maka dari itu sistem fly over pun tak bisa juga diterapkan di Pulau Dewata.
Sementara jika dilakukan pelebaran jalan ke kanan atau ke kiri banyak terdapat areal Suci Pura yang juga berada di setiap rumah warga.
Dan biaya pembebasan lahan tentunya akan menjadi lebih mahal.
Ervan mengemukakan permasalahan infrastruktur itu selalu pada ‘clean and clean’ lokasi lahan yang membuat waktu pengerjaan menjadi panjang.
Namun menurut Ervan, mahal atau murahnya pembuatan LRT di Bali, sebetulnya bukan masalah.
“Asal pendapatannya ada, justru itu yang dicari pertama adalah pendapatannya dari mana? Jangan dulu dilihat spending-nya kalau itu murah seperti Kereta Api Jakarta Airport, ke atas memang murah memanfaatkan lahan, namun tidak laku tidak ada revenue (pendapatan) jadi mahal,” jelasnya seperti dikutip Tribun Bali.