Kekhawatiran Dunia dan Jokowi Jika Perang Palestina-Israel Meluas, Harga Minyak Diramal 150 Dolar AS
Bank Dunia (World Bank) meramal harga minyak dunia dapat menembus harga di atas 150 dolar AS per barel.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, - Perang Palestina dan Israel yang sampai saat ini berlangsung, dikhawatirkan berdampak kepada melonjaknya harga minyak dunia jika konflik semakin meluas di negara Timur Tengah.
Bahkan, Bank Dunia (World Bank) meramal harga minyak dunia dapat menembus harga di atas 150 dolar AS per barel.
“Jika konflik meluas melampaui perbatasan Jalur Gaza dan mengulangi embargo minyak Arab pada 1973, harga minyak bisa melonjak hingga 157 dolar AS per barel,” kata Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill dikutip Rabu (31/10/2023).
Baca juga: Harga Minyak Dunia Melambung di Tengah Perang Israel-Palestina, Harga Pertalite Bakal Naik?
Tercatat, harga minyak tertinggi pernah terjadi pada Juli 2008, ketika minyak mentah Brent berjangka diperdagangkan setinggi 147,5 dolar AS per barel, menurut data dari LSEG.
“Dalam skenario terburuk yang sebanding dengan embargo minyak Arab pada 1973, pasokan minyak global akan menyusut sebesar 6 juta hingga 8 juta barel per hari,” ujar Gill
“Hal ini akan mendorong harga naik sebesar 56 persen hingga 75 persen pada awalnya menjadi antara 140 dolar AS hingga 157 dolar AS per barel,” sambungnya.
Krisis minyak lima puluh tahun yang lalu membuat harga minyak naik empat kali lipat setelah para menteri energi Arab memberlakukan embargo ekspor minyak terhadap Amerika Serikat sebagai pembalasan atas dukungannya terhadap Israel dalam perang Arab-Israel tahun 1973, yang di dikenal sebagai Perang Yom Kippur.
“Jika konflik terus meningkat, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade,” kata ekonom Bank Dunia itu.
Meskipun Israel dan Palestina bukanlah eksportir minyak utama, tetapi konflik ini terjadi di wilayah penghasil minyak utama yang membuat kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak global.
“Jika konflik tidak kunjung berakhir, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, tidak hanya akibat perang di Ukraina tetapi juga di Timur Tengah,” kata Gill.
Pada Selasa (31/10/2023), harga minyak Brent yang menjadi patokan harga minyak dunia turun 2,8 persen menjadi USD 87,89 per barel.
Sedangkan harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS terakhir turun 3,5% menjadi USD 82,57 per barel.
Jokowi Khawatir
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, perang antara Hamas dan Israel berpotensi untuk melebar.
Apabila perang ini melebar, Jokowi mengatakan akan semakin merumitkan masalah ekonomi dan harga minyak dunia pasti mengalami kenaikan.
"Muncul lagi perang Hamas-Israel. Semakin mengkhawatirkan semua sekarang negara ini karena larinya bukan hanya perangnya di Israel dan Palestina," kata Jokowi.
"Tapi kalau melebar ke Lebanon, Suriah, misalnya nanti ke Irak, akan semakin merumitkan masalah ekonomi semua negara karena harga minyak pasti akan naik," lanjutnya.
"Kalau (perang Hamas-Israel) meluas, bisa mencapai 150 (dolar AS per barel). Inilah yang harus kita waspadai, semuanya baik sisi moneter maupun sisi fiskal," sambung Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebelumnya juga menyinggung soal pelemahan ekonomi global.
Ia mengatakan, kebijakan kenaikan suku bunga yang tinggi dan dalam waktu yang lama oleh Amerika Serikat semakin merumitkan utamanya negara berkembang.
"Capital outflow lari balik semua ke Amerika Serikat, semakin juga merumitkan kita semua," kata Jokow
Pertamina Lakukan Monitor
Corporate Communication Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengungkapkan, pihaknya kini masih terus memonitor pergerakan harga minyak dunia.
"Sementara kami masih memonitor pergerakan harga minyak dunia. Memang harganya masih fluktuatif," ucap Irto kepada Tribunnews, Selasa (10/10/2023).
Ia menegaskan, penyesuaian harga BBM khususnya jenis nonsubsidi mengikuti Kepmen ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang formulasi harga JBU atau BBM nonsubsidi.
Secara berkala Pertamina memang melakukan penyesuaian harga untuk produk-produk BBM nonsubsidi sesuai regulasi yang berlaku.
Baca juga: Perang Israel-Hamas: Netanyahu tolak gencatan senjata: Ini waktunya berperang
Di mana regulasi yang dimaksud mengikuti tren harga rata-rata publikasi minyak dunia, yakni harga publikasi Mean of Platts Singapore (MOPS)/Argus serta nilai tukar mata uang Rupiah.
Perubahan berkala dilakukan Pertamina Patra Niaga setiap bulannya mengacu kepada tren harga publikasi MOPS/Argus pada periode tanggal 25 hingga tanggal 24 pada bulan sebelumnya
"Dan kami pastikan bahwa penentuan harga BBM Nonsubsidi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah," pungkasnya.
Ganggu Ekonomi Global
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala baru-baru ini memberikan pandangannya mengenai perang yang masih berlangsung antara Israel-Hamas.
Menurut Okonjo-Iweala, konflik antara Israel-Hamas yang masih berlangsung akan berdampak pada pertumbuhan global jika meluas ke negara-negara di kawasan Timur Tengah.
“Jika konflik ini menyebar melampaui keadaan sekarang ke seluruh Timur Tengah, akan ada dampaknya,” kata dirjen WTO itu dalam sebuah pernyataan, Senin (30/10/2023).
“Ingatlah, wilayah ini juga merupakan sumber energi dunia yang berasal dari gas alam dan juga minyak, yang masih banyak digunakan di seluruh dunia. Jadi Anda akan melihat dampaknya terhadap pertumbuhan global, perdagangan global,” sambungnya.
WTO juga telah memangkas perkiraan pertumbuhan perdagangan untuk 2023 di tengah perlambatan manufaktur global. Awal bulan ini, organisasi tersebut mengurangi perkiraan pertumbuhan perdagangan barang dagangan global untuk tahun ini karena kemerosotan berkelanjutan yang dimulai pada kuartal IV 2022.
“Pertumbuhan perdagangan sudah cukup suram karena turunnya permintaan agregat secara keseluruhan,” kata Okonjo-Iweala.
Volume perdagangan barang dagangan global kini diproyeksikan tumbuh sebesar 0,8 persen tahun ini, kurang dari setengah kenaikan 1,7 persen yang diperkirakan pada April lalu. Sementara pertumbuhan sebesar 3,3 persen yang diproyeksikan pada 2024 hampir tidak berubah dari perkiraan sebelumnya.
“Kembalinya perekonomian China setelah pandemi ini tidak sekuat yang kita harapkan. Kita mengalami krisis real estate di China. Pertumbuhan Uni Eropa lebih lambat dari yang kami harapkan,” kata Okonjo-Iweala.
“Amerika Serikat tampaknya baik-baik saja, tetapi tetap saja, ada masalah penurunan permintaan agregat di sebagian besar wilayah dan kedua sektor serta inflasi yang terus-menerus dengan suku bunga yang naik lebih tinggi dalam jangka panjang,” pungkasnya.