Utang Negara Rp 8,041 T, Prof Bambang: Siapapun Presidennya Dia Pasti akan Berutang, Kecuali . . .
Bank Dunia menyebut negara-negara berkembang mengeluarkan dana setara Rp 6.800 triliun untuk melunasi utang dan jaminan publik mereka pada 2022.
Editor: Dewi Agustina
Bayangkan waktu Covid-19, saat itu kita punya penerimaan di bawah pengeluaran, maka harus berutang.
Dalam Undang-Undang (UU), utang dibatasi tiga persen per tahun, tiga persen itu defisit terhadap PDB.
Nah ketika Covid-19, Anda bisa bayangkan, enggak ada penerimaan. Jadi pajaknya turun drastis, pengeluarannya enggak bisa turun, malah bertambah.
Hal itu karena pertama, harus ada bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah karena orang-orang tiba-tiba terkena pemutusan hubungan kerja, tidak bisa jualan, dan segala macam.
Kedua, vaksin, belum lagi penanganan kesehatan ada di rumah sakit, ada rumah sakit Covid-19. Jadi defisit yang tadinya biasa-biasa saja, rata-rata 2-2,5 persen (per-tahun), mendadak jadi 6 persen.
Jadi terpaksa ada klausul yang menyatakan bahwa pemerintah boleh meningkatkan defisit dalam rangka itu.
Nah poin saya adalah negara berutang selama Covid-19 itu tidak terhindarkan karena setiap pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan rakyatnya.
Dalam konteks Indonesia, Rp 8.000 triliun itu kalau menggunakan perkiraan PBB 2023, perkiraannya itu 38 persen. Sangat safe (aman).
Dan Rp 8.000 triliun itu juga harus dilihat asal-muasalnya. Artinya kalau melihat utang, utang kita mungkin banyak juga yang dalam mata uang asing.
Nah, dalam konteks sekarang tiket bunga tinggi, dolarnya kan makin kuat. Jadi istilahnya, kita enggak ngapa-ngapain, enggak nambah utang, tetapi secara rupiah nambah sendiri.
Apakah angka Rp 8.041,01 triliun ini merupakan utang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia?
Secara nominal, pasti tertinggi, kan akumulasi, bertambah terus. Kenapa utang tambah terus? Karena asal-muasalnya penerimaan kita selalu di bawah pengeluaran.
Utang hanya bisa turun kalau penerimaan surplus. Sementara kita selalu defisit budget. Mungkin Anda tanya, kalau defisit kenapa enggak dibikin surplus? Masalahnya, kita itu adalah negara yang masih upper middle atau masih perlu tumbuh.
Bagian dari pertumbuhan, boosting (meningkatkan) tadi kan adalah investment (investasi). Investment bisa datang dari sektor privat, dari dalam luar negeri, dan dari pemerintah.