Utang Pemerintahan Jokowi Makin Menggunung, Tembus Rp 8.041 Triliun
Utang pemerintah didominasi Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,9 persen dari seluruh komposisi utang dengan nilai Rp 6.894,36 triliun.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
“Lelang SUN hari ini berhasil menarik total incoming bids sebesar Rp28,79 triliun lebih tinggi dari total incoming bids sebesar Rp20,02 triliun pada lelang SUN sebelumnya,” kata Deni dihubungi Tribun Network.
Rilis data ekonomi Tiongkok yang cukup positif dan indikasi kenaikan suku bunga ECB (Bank Sentral Eropa) yang telah mencapai atau mendekati akhir menjadi sentimen positif pada lelang SUN hari ini.
Sejalan dengan kenaikan total incoming bids, jumlah penawaran yang masuk dari investor asing pada lelang SUN hari ini juga meningkat menjadi Rp2,08 triliun dari Rp1,69 triliun pada lelang SUN sebelumnya.
“Mayoritas minat investor asing tersebut berada pada SUN bertenor menengah panjang yaitu 5 dan 11 tahun dengan jumlah penawaran yang masuk untuk kedua tenor tersebut adalah sebesar Rp1,49 triliun atau 72,77 persen dari total incoming bids investor asing dan dimenangkan sebesar Rp0,59 triliun atau 3,8 persen dari total awarded bids,” papar Deni.
Menjelang pergantian tahun, utang Indonesia tembus Rp 8.041 triliun atau naik Rp 90,48 triliun mtm dengan rasio utang 38,11 persen dari PDB.
Utang pemerintah pada November 2023 masih didominasi oleh SBN yang mencapai 88,61 persen dari seluruh komposisi utang turun menjadi Rp 7.124 triliun.
Porsi pinjaman menjadi Rp 916,03 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri.
Utang karena Proyek Bansos
Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan utang negara tidak mengenal siapapun presiden Indonesia kelak.
Menurutnya, waktu pandemi Covid-19, Indonesia punya penerimaan di bawah pengeluaran maka opsinya adalah harus berutang.
Faktor utama membengkaknya utang pemerintah itu karena alokasi untuk bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah karena orang-orang tiba-tiba terkena pemutusan hubungan kerja, tidak bisa jualan dan segala macam.
Kedua, persoalan vaksin kemudian penanganan kesehatan ada di rumah sakit, ada rumah sakit Covid-19.
“Jadi defisit yang tadinya biasa-biasa saja, rata-rata 2-2,5 persen (per-tahun), mendadak jadi 6 persen,” kata Prof Bambang kepada Tribun Network.
Negara, lanjut Prof Bambang, terpaksa membuat klausul yang menyatakan bahwa pemerintah boleh meningkatkan defisit dalam rangka penanganan Covid-19.
Poinnya adalah negara berutang selama Covid-19 itu tidak terhindarkan karena setiap pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan rakyatnya.