Penerimaan Bea Cukai Rokok Turun, Berikut Analisa Pengamat
Pada 2022, penerimaan cukai dari produk tembakau sebesar Rp 218 triliun, kemudian pada 2023 turun menjadi Rp 213 triliun. Ini kata pengamat.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerimaan bea cukai Indonesia mengalami penurunan 3,2 persen year on year jika dibandingkan dengan realisasi pada periode sama di tahun lalu sebesar Rp 58,4 Triliun.
Penurunan ini diakibatkan penurunan pada komponen cukai.
Penerimaan cukai hasil tembakau Indonesia turun sebanyak Rp 5 triliun di 2023.
Pada 2022, penerimaan cukai dari produk tembakau sebesar Rp 218 triliun, kemudian pada 2023 turun menjadi Rp 213 triliun.
"Penurunan cukai tembakau disebabkan tingginya harga komoditas lain, seperti bahan pokok," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, pada Senin (1/4/2024).
Situasi ini, kata dia, membuat masyaraka beralih ke rokok ilegal.
"Sehingga kenaikan ini, masyarakat beralih ke rokok ilegal," ujarnya
Dia menilai kenaikan cukai berkaitan situasi ekonomi.
Menurut dia, kenaikan cukai yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi stagnan justru akan membuka ruang bagi para produsen rokok ilegal.
Maka kebijakan pengendalian tembakau harus dilihat berbagai aspek, fiskal maupun non-fiskal.
Kini, pemerintah sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan (RPP Kesehatan).
Rancangan Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Kesehatan yang mengandung banyak muatan, mulai dari persoalan tenaga kesehatan hingga pengetatan produk tembakau dari sisi fiskal dan non-fiskal.
Sementara itu, Koordinator Bidang Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Feryando Agung, menyatakan memang RPP Kesehatan akan berdampak pada industri tembakau.
Hal-hal yang mencuat jadi pembahasan ialah kelangsungan industri, hubungan kerja, pemasukan bagi negara, dan komoditas tani.
"Kami menilai bahwa RPP ini sesungguhnya baik adanya, tapi dalam pelaksanaannya tentu menimbulkan dampak bagi industri,” kata Feryando pada diskusi di Gedung Tempo (18/3).
Sejak kemunculannya, RPP Kesehatan menimbulkan berbagai kontroversi. Pakar hukum Feri Amsari menyoroti metode omnibus yang digunakan pada tataran RPP Kesehatan.
Feri menyatakan penggunaan metode omnibus sendiri sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara.
“Larangan omnibus di Amerika sampai masuk ke konstitusi karena memang metode ini dipandang memiliki kecenderungan dapat mengakomodir pasal titipan,” kata Feri pada diskusi pekan lalu.
Pada saat yang sama, Feri mengatakan publik dan organisasi masyarakat mesti terlibat dalam penyusunan kebijakan publik, termasuk RPP Kesehatan.
Sebab yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah publik sendiri. Sebaliknya, akan jadi preseden tidak baik bila peraturan disusun tidak mengajak bicara organisasi dan para pemangku kepentingan lainnya.
“Jangan-jangan memang regulasi itu sudah diatur dan diperuntukkan untuk kepentingan tertentu, tapi semoga tidak, mudah-mudahan masih bisa dikoreksi baik yang berhubungan dengan organisasi kesehatan ataupun organisasi bisnis,” tutup Feri.