Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Aktif Jaga Alam Lestari,Batik Tulis Giri Wastra Pura Pakai Pewarna Alami hingga Pembayaran Non-Tunai

Lebih jauh, Batik Tulis GWP juga mulai beradaptasi menggunakan pembayaran non-tunai untuk ikut gerakan pelestarian alam dengan mengurangi uang kertas

Penulis: Imam Saputro
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Aktif Jaga Alam Lestari,Batik Tulis Giri Wastra Pura Pakai Pewarna Alami hingga Pembayaran Non-Tunai
Tribunnews/Wahyu Gilang Putranto
Perjalanan batik tulis Giri Wastra Pura (GWP) melestarikan budaya warisan leluhur. 

Di Astana Mangadeg, terdapat makam Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo yang merupakan adipati pertama dari Praja Mangkunegaran. 

Girilayu juga tak begitu jauh dengan makam Presiden ke-2 R,  Soeharto di Astana Giribangun yang juga erat kaitannya dengan Mangkunegaran.

“Dulu zaman mbah-mbah katanya memang membatik sejak Mangkunegaran I, mulai cara membatik, motif, cara pewarnaan itu diajarkan turun-temurun,” kata Partinah.

Partinah yang merupakan generasi keempat di keluarganya yang menekuni batik mengatakan di Desa Girilayu terdapat belasan kelompok batik yang membawahi puluhan perajin setiap kelompoknya,

“Sistemnya ada kelompok batik di Girilayu, misal ada pesanan banyak kami biasanya kerja sama, untuk motif dan cara membatik hampir sama, karena turun temurun dari leluhur di Desa Girilayu,” kata dia.

Partinah kini mengelola kelompok batik yang diberi nama Batik Tulis Giri Wastra Pura (GWP). 

Kelompok batik miliknya merupakan satu di antara 12 kelompok batik yang berada di Desa Girilayu.

BERITA REKOMENDASI

"Membentuk kelompok batik mulai 2019, untuk melestarikan warisan budaya yakni  batik tulis, mayoritas memang emak-emak yang membatik," katanya.

Dia menceritakan, dahulu warga di Desa Girilayu dulunya merupakan buruh batik.

Mereka membatik di rumah masing-masing untuk kemudian batik setengah jadi tersebut disetorkan ke Solo. 

Akan tetapi, warga Desa Girilayu kini telah bisa membatik secara mandiri hingga memasarkan hasil karyanya.

"Dikerjakan di sini (Girilayu), terus disetorkan ke Solo untuk finishing atau proses pewarnaan. Tapi sekarang, ibu-ibu sudah bisa mengerjakan dari awal, kain diberi pola, hingga pewarnaan dan dipasarkan sendiri," terangnya.

"Dikerjakan di rumah untuk samben (kerja sampingan), setelah selesai pekerjaan rumah, bisa nyanting. Jadi dapat uang setelah selesai selembar kain," ungkapnya.

Partinah mengungkapkan, proses membuat batik tulis membutuhkan waktu sekitar 6 hingga 8 bulan. 

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas