Soal Maraknya Penyalahgunaan QRIS, Anggota Komisi XI DPR: Penyedia Sistem Bukan Pihak yang Salah
Penipuan modus QRIS harus membuat para pedagang atau merchant dan lembaga lebih berhati-hati menempatkan kodenya.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng melihat bank dan penyedia sistem layanan keuangan atau payment gateway tidak bisa disalahkan ketika terjadi penipuan dengan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang belakangan terjadi.
Mekeng berujar, penipuan modus QRIS harus membuat para pedagang atau merchant dan lembaga lebih berhati-hati menempatkan kode agar tidak diganti pihak tak bertanggung jawab.
"Kalau ini tidak ada yang salah sama QRIS-nya (penyedia sistem), ini masalah pemalsuan di merchant-nya, sehingga para merchant harus hati-hati terhadap penempatan stiker QRIS agar tidak dipalsukan," kata Mekeng kepada awak media, Senin (10/6/2024).
Baca juga: Waspada, Penyalahgunaan QRIS Kini Marak! AFTECH Berbagi Kiat Cara Mencegahnya
Mekeng mengingatkan para pengguna akun bank atau penyedia sistem keuangan berhati-hati ketika memindai QRIS. Terutama, kata dia, pengguna bisa memastikan pemimdaian QRIS menjadi milik pihak yang seharusnya.
"Pemalsuan ini juga terjadi, contohnya di rumah-rumah ibadah, sehingga sebagai pengguna QRIS harus hati-hati dan teliti membaca rekening penerimanya," ucap Mekeng.
Dia juga mengingatkan para merchant atau lembaga bisa melakukan cek secara berkala terhadap QRIS yang terpasang untuk mencegah aksi penipuan.
"Ya, pengecekkan rutin dan random," kata Mekeng.
Seperti diketahui sejumlah penipuan melalui QRIS masih marak terjadi. Selain QRIS "palsu" di mesjid, ada juga modus menciptakan QRIS palsu yang seolah-olah berasal dari toko atau merchant yang sah.
Modus lain seperti scamming dimana pelaku penipuan mengaku sebagai pihak yang sah dan menawarkan hadiah (Giveaway) jika korban melakukan transfer mengunakan QRIS. Ada lagi modus dengan mengaku pihak dari bank dimana korban dalam percakapan dengan pelaku diminta memberikan informasi OTP dan dipandu melakukan transaksi QRIS.
Pakar hukum dan konsultan keuangan Hendra Agus Simanjuntak sepakat dengan pernyataan anggota DPR tersebut. Menurutnya, perusahaan penyedia sistem pembayaran biasanya sudah "mempersenjatai diri" dengan ISO 27001:2022 tentang Sistem Managemen Keamanan Informasi dan IS0 37001:2016 tentang sistem Managemen Anti Penyuapan.
"Jadi perusahaan sejak awal sudah membentengi diri dan meningkatkan kualitas managemennya untuk mencegah terjadi penyalagunaan transaksi digital, misalnya melalui QRIS," ujarnya.
Hendra menilai setiap terjadi penyalagunaan QRIS, maka penegakan hukum harusnya hanya berlaku kepada yang melanggar asas kepatutan tersebut. Ia menilai tidak adil jika terjadi satu kasus penyalagunaan QRIS oleh satu oknum, namun implikasi merembet keseluruh transaksi digital yang ada di penyedia system digital.
"Jadi kalau ada satu kasus, maka oknum itu saja yang mendapatkan efek hukum, misalnya blokir no rekening dan no hapenya. Sementara arus transaksi lainnya yang sesuai asas kepatutan, biarkan proses berjalan normal. Karena biar bagaimanapun, pasar digital, butuh kepercayaan konsumen yang sangat penting untuk dijaga,” tegas Hendra.
Hendra menerangkan salah satu fungsi dari QRIS adalah memberi kemudahan bagi dalam bertransaksi di era digitalisasi saat ini. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan adanya oknum-oknum yang mencari celah menyalagunakannnya untuk kepentingan sendiri.
“Karena itu penting bagi regulator bersama sama dengan penyedia system pembayaran digital mencari rumus yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada seperti penyalagunaan QRIS ini. Aturan yang dihasilkan dijalankan dengan baik dan benar serta berkeadilan bagi semua pihak," tutupnya.