Pengusaha Ngeluh Nilai Tukar Rupiah Terpuruk, Bank Indonesia Kasih Kabar Gembira
Pelemahan rupiah membuat biaya produksi menjadi meningkat, bahkan bisa menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha berbagai sektor mengeluhkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mengalami pelemahan sejak beberapa hari ke belakang.
Pelemahan rupiah membuat biaya produksi menjadi meningkat, bahkan bisa menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tercatat pada sore ini, Senin (8/7/2024), mengutip Yahoo Finance, nilai tukar rupiah menguat ke level Rp16.250 dari posisi tadi pagi di posisi Rp16.307.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kerap bergerak di posisi Rp16.400-an.
Penguatan nilai tukar rupiah diramal Bank Indonesia masih akan berlanjut hingga akhir 2024.
Baca juga: Serikat Buruh Was-Was Pelemahan Rupiah Berdampak PHK di Industri Otomotif
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, terdapat empat faktor yang mempengaruhi penguatan nilai tukar rupiah, diantaranya pertama, arah penurunan suku bunga The Fed atau Federal Funds Rate (FFR).
“Kedua, imbal hasil daya tarik investasi portofolio, bahwa pada tahun ini investasi portofolio kedalam negeri ini terjadi inflow, meskipun beberapa bulan di waktu terjadi Lebaran terjadi outflow,” tutur Perry saat melakukan rapat kerja bersama Banggar DPR RI, dikutip dari Kontan, Senin (8/7/2024).
Perry mencatat, secara keseluruhan tahun ini terjadi inflow khususnya dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 130,35 triliun, dari saham Rp 340 miliar, meski pada pertengahan tahun Surat Berharga Negara (SBN) terjadi outflow Rp 33,96 triliun.
Perry menambahkan, sejalan dengan adanya koordinasi dengan Kementerian Keuangan, sejak Juni 2024 SBN mulai kembali inflow, dan diharapkan tetap terjaga.
“Secara keseluruhan, portfolio inflow tahun ini adalah Rp 91,5 triliun, dan ini yang terus kami lakukan,” ungkapnya.
Faktor ketiga, yang mempengaruhi nilai tukar rupiah menguat adalah dari sisi fundamental inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang baik.
Keempat, adalah upaya BI untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Bank Indonesia memperkirakan inflasi tahun ini akan sesuai target yakni 2,5 persen plus minus 1%, sementara pertumbuhan ekonomi tahun ini optimistis mencapai 5,1%.
Perry menambahkan, sejalan dengan faktor-faktor tersebut, nilai tukar rupiah diperkirakan menguat sekitar Rp 15.700 hingga Rp 16.100 per dollar AS.
“Jadi empat faktor tadi yang kami perkirakan rupiah akan menguat stabil kedepan,” ungkapnya.
Harapan Pengusaha
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) berharap pemerintah mengintervensi nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar.
"Mudah-mudahan kita berharap pemerintah terus mengintervensi untuk tidak lebih dari Rp16.500. Menurut perbankan secara year to date sudah 6,5 persen depresiasinya. Berangkat dari itu, pemerintah harus bertahan jangan sampai jebol lagi. Kalau ini lewat lagi sangat berat sekali," tutur Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman, di Kantor Kementerian Perindustrian.
Adhi menerangkan, industri makanan dan minuman (Mamin) di tengah melemahnya nilai tukar rupiah sedikit tertekan.
"Pelemahan ini memang buat Mamin cukup menjadi masalah, karena terus terang bahan baku kita masih banyak impor, itu jadi masalahnya," imbuhnya.
Saat ini ada empat komoditi bahan baku industri Mamin yang terpengaruh dengan merosotnya rupiah, diantaranya gandum, susu, garam hingga gula.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) impor ke-empat komoditi tersebut mencapai 9 miliar dolar AS setiap tahunnya.
Jika pelemahan rupiah dihitung Rp 16.000 terhadap dolar AS dan depresiasi 6,5 persen, angka yang di dapat ialah Rp 800.
"Kalau 6,5 persen dari Rp 16.000-an berarti sekitar Rp 800. Lalu Rp 800 dikali 9 miliar dolar AS itu baru yg empat komoditi utama, itu udah sekitar Rp 500 triliun konsumsinya. Tentunya ini menjadi beban industri," jelas Adhi.
Dengan beban belanja bahan baku yang bertambah, industri besar masih mampu bertahan, meski tidak langsung menaikkan harga jual. Namun berbeda dengan industri kecil.
"Bagi industri menengah dan besar memang masih punya daya tahan. Jadi, kita tidak serta merta langsung menaikkan harga jual. Kita masih ingin bertahan karena kita lihat juga daya beli masyarakat. Tapi bagi-bagi temen-temen industri kecil atau daya tahannya rendah kadang mereka stoknya harian atau mingguan, mau tidak mau mereka menaikkan harga," ucap Adhi.
"Industri Mamin perlu dilindungi, sebab demand-nya masih cukup. Kalau kuartal 1 kita di Mamin olahan ekspor kita masih tumbuh 5 persen. Cuman masalahnya di ekspor ini sekarang logistik. Logistik ke negara-negara yang jauh itu naik 3-4 kali lipat, sehingga banyak buyer yang minta ditunda, minta kirimnya hold dulu, produksi hold segala macam ini karena logistik. Jadi, bertubi-tubi masalah yang ada," sambungnya.
Bikin Mahal Harga Pangan dan Energi
Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak mengingatkan pemerintah soal dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap perekonomian rakyat, terutama di sektor pangan dan energi.
Amin menyampaikan, besarnya ketergantungan impor pangan dan energi berdampak pada stabilitas harga pangan serta BBM dan gas. Sejumlah komoditas pangan yang ketergantungan impornya tinggi antara lain kedelai, gula, bawang putih, daging sapi, dan gandum.
"Pada tahun 2021, Indonesia mengimpor sekitar 2,49 juta ton kedelai senilai 1,48 miliar dolar AS. Kemudian gula pasir impor memenuhi sekitar 65-70 persen kebutuhan gula pasir di Indonesia. Sedangkan bawang putih, sekitar 90-95 persen juga berasal dari impor," ujar Amin.
Komoditas pangan yang ketergantungan volume impornya paling banyak, imbuhnya, adalah gandum. Setiap tahun, Indonesia mengimpor sekitar 10 hingga 11 juta ton gandum. Komoditas ini kemudian diolah menjadi tepung terigu, yang merupakan bahan baku untuk produk pangan seperti mi instan dan roti.
"Komoditas lain yang volume impornya tinggi adalah daging sapi, yaitu sekitar 25-30 persen dari seluruh daging sapi yang dikonsumsi di Indonesia. Selain komoditas tersebut, pemerintah juga tidak konsisten soal beras yang sering tiba-tiba diputuskan untuk impor," kata Amin.
Selain pangan, kata Amin, sektor-sektor yang terdampak oleh penguatan Dolar AS antara lain farmasi, otomotif, elektronik, dan tekstil. Barang-barang kebutuhan akan semakin mahal, yang berarti membuat daya beli masyarakat melemah. Padahal, konsumsi masyarakat selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jika tidak secepatnya diambil langkah-langkah tepat, Indonesia bisa masuk ke dalam situasi instabilitas harga maupun pasokan komoditas pangan. Bukan hanya itu, masyarakat juga akan merasakan ekonomi biaya tinggi akibat depresiasi nilai tukar rupiah," tegas Amin.
Yang juga harus diwaspadai, lanjut Amin, adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas, karena kurs rupiah merupakan salah satu faktor penentu harga BBM yang ditetapkan oleh badan usaha migas. Jika Dolar AS terus menguat, harga minyak akan melonjak, subsidi terpaksa dipangkas, dan harga BBM akan naik.
"Berdasarkan kajian, ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 10 persen, harga BBM di pom bensin akan naik. Meroketnya inflasi impor biasanya akan mengorbankan harga BBM menjadi lebih mahal. Jika kondisi ini terjadi, daya beli masyarakat akan tergerus, pertumbuhan ekonomi akan melambat, dan angka kemiskinan akan meningkat," kata Amin.
Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Dibuka Melemah ke Posisi Rp16.280 per Dolar AS
Inflasi dalam negeri, ujarnya, akan naik secara signifikan, daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan kemiskinan semakin meningkat.
"Melemahnya nilai tukar rupiah juga berdampak pada para pelaku usaha, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang komponen impor pada bahan bakunya tinggi. Biaya produksi mereka dapat meningkat karena harga komoditas dasar yang diimpor dari luar negeri naik, yang pada akhirnya memengaruhi bisnis mereka," imbuh Amin.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, tambahnya, juga bisa berdampak pada APBN, dengan belanja pemerintah membengkak, terutama untuk belanja energi dan pertahanan yang terkait dengan impor. Selain itu, pembayaran cicilan utang dan bunga dalam mata uang Dolar akan menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya memperkecil ruang fiskal anggaran negara.
Belanja APBN akan lebih membengkak karena asumsi Dolar AS digunakan untuk belanja pemerintah yang terkait impor, serta cicilan utang dan bunga yang menjadi lebih tinggi. Artinya, ruang fiskal mengecil dan sektor riil terdampak karena belanja pemerintah berkurang.
"Saya khawatir, situasi yang tampak baik di permukaan, pada akhirnya akan menjadi bom waktu bagi pemerintahan baru nanti. Begitu dilantik, terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ini akan mempengaruhi efektivitas kerja pemerintahan ke depan," terang Amin.