AS Terancam Resesi, Pasar Saham Anjlok dan Harga Minyak Naik
asar saham dunia bertumbangan namun obligasi menguat di Asia pada hari Senin(5/8/2024) lantaran kekhawatiran Amerika Serikat akan menuju resesi.
Penulis: willy Widianto
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasar saham dunia bertumbangan namun obligasi menguat di Asia pada hari Senin (5/8/2024) lantaran kekhawatiran Amerika Serikat (AS) akan menuju resesi.
Hal itu membuat investor bergegas meninggalkan aset-aset berisiko sementara suku bunga harus turun dengan cepat untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi.
Investor memulai posisi mereka pada hari Jumat (2/8/2024) dengan menjatuhkan Nasdaq berjangka yang turun 2,27 persen, sementara S&P 500 berjangka turun 1,41%. EURO STOXX 50 berjangka turun 0,6% dan FTSE berjangka 0,2%.
Sementara Nikkei Jepang (N225) turun secara mengejutkan sebesar 5,5% hingga mencapai posisi terendah selama tujuh bulan, menandai kerugian tiga sesi terbesar sejak krisis keuangan tahun 2011.
Indeks MSCI saham Asia Pasifik di luar Jepang terluas (MIA J0000 PUS), juga mengalami loss 2,0%. Akan tetapi saham blue chips Tiongkok (CSI300) justru mengalami kenaikan yang jarang terjadi dengan kenaikan sebesar 0,4%, dibantu oleh kenaikan PMI jasa Caixin menjadi 52,1.
Imbal hasil obligasi 10 tahun Jepang turun tajam 17 basis poin ke level terendah sejak April di 0,785%, karena pasar secara radikal mempertimbangkan kembali prospek kenaikan suku bunga lagi dari Bank of Japan.
Obligasi negara kekinian banyak diminati dengan imbal hasil 10 tahun mencapai 3,723%, terendah sejak pertengahan tahun 2023.
Imbal hasil obligasi dua tahun turun menjadi 3,818%, setelah turun 50 basis poin minggu lalu, dan bisa segera turun di bawah imbal hasil obligasi 10 tahun, mengubah kurva menjadi positif dengan cara yang menandai terjadinya resesi di masa lalu.
Laporan penggajian (payroll) bulan Juli yang sangat lemah dan mengkhawatirkan membuat pasar memperkirakan peluang hampir 70 persen bahwa Federal Reserve (The Fed) tidak hanya akan menurunkan suku bunga pada bulan September tahun ini, namun juga melakukan pelonggaran sebesar 50 basis poin penuh.
Baca juga: Jepang Alami Resesi, Bagaimana Dampak ke Indonesia? Ini Kata Sri Mulyani dan Direktur BEI
Kontrak berjangka menyiratkan pemotongan suku bunga dana sebesar 115 basis poin sebesar 5,25-5,5% tahun ini, dan memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 3,0% pada akhir tahun 2025.
“Kami telah meningkatkan peluang resesi dalam 12 bulan sebesar 10pp menjadi 25%,” kata analis di Goldman Sachs dalam sebuah catatan.
Goldman memperkirakan pemotongan sebesar seperempat poin pada bulan September, November, dan Desember 2024.
“Premis perkiraan kami adalah bahwa pertumbuhan lapangan kerja akan pulih pada bulan Agustus dan FOMC akan menilai pemotongan sebesar 25bp merupakan respons yang cukup terhadap risiko penurunan apa pun,” kata analis di Goldman Sachs.
Mereka menambahkan laporan ketenagakerjaan bulan Agustus sama lemahnya dengan laporan bulan Juli, maka kemungkinan pemotongan sebesar 50 bp akan terjadi pada bulan September.
Analis di JPMorgan bahkan lebih keras lagi dalam analisinya, mereka memperkirakan kemungkinan resesi AS bakal terjadi sebesar 50 persen.
“Sekarang The Fed terlihat berada di belakang kurva, kami memperkirakan pemotongan sebesar 50 bp pada pertemuan bulan September, diikuti oleh pemotongan 50 bp lagi pada bulan November,” kata ekonom Michael Feroli dikutip Reuters, Senin(5/8/2024).
"Memang benar, ada kemungkinan untuk melakukan pelonggaran antar-pertemuan, terutama jika data semakin melemah meskipun para pejabat Fed mungkin khawatir tentang bagaimana langkah tersebut dapat disalahartikan," tambahnya.
Investor akan memperoleh gambaran tentang lapangan kerja di sektor jasa dari survei non-manufaktur ISM yang akan dirilis hari ini dan para analis memperkirakan rebound ke 51,0 setelah penurunan tak terduga di bulan Juni menjadi 48,8.
Minggu ini terdapat pendapatan atau pemasukan baru dari pemimpin industri Caterpillar (CAT.N) dan raksasa media Walt Disney (DIS.N) yang lebih banyak memberikan imbas cukup berpengaruh tentang keadaan konsumen dan manufaktur.
Yang juga melaporkan perkembangan baiknya adalah perusahaan kesehatan kelas berat seperti produsen obat penurun berat badan Eli Lilly (LYNN).
Baca juga: Inggris Cabut Bantuan Karena Resesi, Belasan Ribu Pengungsi Ukraina Jadi Gelandangan
Untuk penurunan besar dalam imbal hasil Treasury juga membayangi daya tarik dolar AS sebagai safe-haven dan menyeret mata uang tersebut turun sekitar 1% pada hari Jumat lalu.
Pada hari Senin, dolar turun 1,0% lagi terhadap yen Jepang di 144,99, sementara Euro bertahan kuat di $1,0920.
Franc Swiss adalah penerima manfaat utama yang beruntung dari serbuan risiko, dengan dolar mendekati posisi terendah enam bulan di 0,8533 franc.
“Pergeseran perkiraan perbedaan suku bunga terhadap AS telah melebihi penurunan sentimen risiko,” kata Jonas Goltermann, Wakil Kepala ekonom pasar di Capital Economics.
Baca juga: Daftar Maskapai Dunia yang Batalkan Penerbangan ke Israel dan Lebanon
“Jika narasi resesi benar-benar terjadi, kami memperkirakan hal itu akan berubah, dan dolar akan pulih karena permintaan safe-haven menjadi pendorong dominan di pasar mata uang," tambahnya.
Investor juga meningkatkan taruhannya bahwa bank sentral besar lainnya akan mengikuti jejak The Fed dan melakukan pelonggaran lebih agresif, dengan Bank Sentral Eropa (ECB) kini terlihat melakukan pemotongan sebesar 67 basis poin pada hari Natal.
Di pasar komoditas, emas turun kembali ke $2,434 per ounce, mungkin dirusak oleh investor yang mengambil keuntungan untuk menutupi kerugian di tempat lain. Pola serupa terlihat pada mata uang kripto ketika bitcoin dan ether keduanya melemah.
Harga minyak melambung di tengah kekhawatiran mengenai meluasnya konflik di Timur Tengah, meskipun kekhawatiran mengenai permintaan telah menyebabkan harga minyak sempat merosot ke posisi terendah dalam delapan bulan pada minggu lalu.
Kekinian harga minyak dunia Brent naik 27 sen menjadi $77,08 per barel, sementara minyak mentah AS naik 23 sen menjadi $73,75 per barel.(reuters)