Meski Ada Transisi Energi, Pemerintah Disebut Masih Serius Benahi Industri Migas
Kontribusi migas masih memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah disebut cukup serius mendongkrak kinerja industri hulu minyak dan gas (migas) di Tanah Air.
Hal ini disebut-sebut dalam kegiatan Oil & Gas Lifting Forum Goes to Campus 2024 di Universitas Pertamina, Rabu (28/8/2024).
Anggota Tim Pengarah Kegiatan Oil & Gas Lifting Forum Goes to Campus 2024, Turman P Simanjuntak mengungkapkan, Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto tetap memberikan perhatian khusus untuk mendorong Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas agar dapat mengoptimalisasi bagian Wilayah Kerja migas potensial yang belum tergarap atau idle.
Turman menyebut, sampai dengan saat ini, kontribusi migas masih memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca juga: Devisa Negara Sudah Terkuras Rp396 Triliun, Menteri Bahlil Bakal Tekan Impor Migas
"Dimana sampai 17 Agustus 2024 ini saja penerimaan negara bukan pajak dari Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sudah mencapai Rp1.725 miliar," ucap Turman.
"Dan sektor migas merupakan salah satu penggerak perekonomian Indonesia karena memiliki efek pengganda (multiplier) cukup signifikan di dalam sistem perekonomian Indonesia," sambungnya.
Turman melanjutkan, Pemerintah memberikan dukungan serius dalam upaya meningkatkan produksi migas dengan target peningkatan produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) di tahun 2030.
Maka langkah perlu dilakukan untuk mendukung realisasi target tersebut.
Pertama, mempertahankan tingkat produksi eksisting yang tinggi di antaranya dengan melakukan reaktivasi sumur yang idle serta mengimplementasikan inovasi dan teknologi tepat guna.
Kedua, menerapkan transformasi dari sumber daya hingga menjadi produksi migas dengan percepatan monetisasi.
Ketiga, menerapkan strategi enhanced oil recovery (EOR). Keempat, strategi eksplorasi yang intensif.
Dan transisi energi juga merupakan inisiatif yang sangat esensial untuk mempertimbangkan persiapan yang diperlukan untuk melaksanakan upaya besar ini.
Melibatkan aspek-aspek seperti kesiapan regulasi, institusi, keuangan, termasuk perlu mempersiapkan tenaga kerja yang dapat mendukung transisi energi ini.
Penggunaan sumber energi terbarukan tidak hanya memerlukan jumlah tenaga kerja yang besar, tetapi juga keterampilan yang berbeda dengan yang diperlukan dalam konstruksi dan operasional industri bahan bakar fosil (minyak, gas, batu bara).
Oleh karena itu, perlu adanya kesiapan melalui pelatihan untuk menciptakan lapangan kerja dan mendukung investasi.
Dukungan oleh pemerintah dalam hal ketenaga kerjaan, seperti jaminan sosial, pelatihan vokasional, peningkatan produktivitas, dan program magang, menjadi semakin penting dalam konteks ini.
"Kita semua optimis pemerintah baru dibawah pimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto akan dapat melakukan optimalisasi, inovasi dan kebijakan kebijakan yang dapat mendukung tercapainya target produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) di tahun 2030," pungkas Turman.
Sementara itu, Sekretaris BPH Migas, Patuan Alfons mengungkapkan, Bauran Energi Nasional khususnya migas diprediksi masih akan menjadi tulang punggung energi nasional hingga beberapa tahun mendatang.
Meski presentase energi terbarukan terus meningkat, namun gas masih memiliki peran penting dalam penyediaan energi nasional.
Sejalan dengan industri migas yang terus didorong dan diperlukan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Hal ini sejalan dengan komitmen dalam mencapai target emisi nol bersih (net zero emission).
Penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS) merupakan teknologi inovatif yang memungkinkan emisi karbon dioksida (CO2) dipisahkan dari sumbernya, diangkut, dan disimpan secara permanen di bawah tanah.
Teknologi ini memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi CO2 dari berbagai sektor industri, seperti pembangkit listrik, industri berat, dan manufaktur.
"Sekarang pemerintah komitmen kepada Paris Agreement, kita tentu melaksanakan hal-hal yang menuju pada itu. Jadi kalau dibilang transisi energi tentu bagaimana kita tetap memproduksi minyak ini, lalu menjaga agar kita bisa menujuk pada net zero emission di tahun 2060, langkah-langkahnya itu sudah ada," ungkap Patuan.
"Untuk industri migas, menurut saya secara pribadi dengan adanya perpres tentang carbon capture storage dan carbon capture and utilization storage, itu tentu memberikan semangat baru pada kita," pungkasnya.