Pakar Ungkap Sederet Bukti Proyek IKN Pemerintahan Jokowi Hanya untuk Kepentingan Elite
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan kebijakan pemindahan ibu kota negara lebih merupakan kehendak elite politik.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap proyek pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur dari Jakarta, bukan keinginan dirinya pribadi tetapi masyarakat yang diwakilkan DPR.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat yang menjabarkan sejumlah bukti IKN bukanlah aspirasi rakyat sesungguhnya.
Menurutnya, terdapat banyak bukti yang menunjukkan kebijakan pemindahan ibu kota negara lebih merupakan kehendak elite politik daripada hasil partisipasi dan aspirasi nyata dari masyarakat luas.
"Ada empat bukti bahwa IKN sesungguhnya bukanlah aspirasi," ucap Achmad dikutip Kamis (26/9/2024).
Baca juga: Progres Pembangunan Infrastruktur Bandara IKN Capai 80 Persen
Bukti pertama, kata Achmad, minimnya keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.
Ia menyebut, sejak awal pemindahan IKN terlihat sebagai kebijakan yang dikeluarkan tanpa melibatkan masyarakat secara langsung.
Dalam negara demokratis, kata Achmad, partisipasi publik dalam keputusan besar seperti pemindahan ibu kota seharusnya menjadi hal yang utama.
"Namun, dalam kasus IKN, tidak ada referendum atau jajak pendapat yang melibatkan rakyat. Keputusan yang diambil lebih banyak terjadi di kalangan elite pemerintahan dan DPR, sementara aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi dasar dari keputusan tersebut justru terabaikan," paparnya.
Meski Jokowi mengklaim bahwa DPR sebagai wakil rakyat dan telah menyetujui pemindahan ibu kota dengan suara mayoritas, tetapi Achmad menilai proses tersebut tidak dapat dianggap mewakili kehendak rakyat secara langsung.
"Pada kenyataannya, banyak masyarakat yang bahkan tidak mengetahui secara mendetail alasan dan konsekuensi dari pemindahan IKN ini," ucapnya.
Ia pun memberikan contoh negara-negara lain seperti Brasil, yang melakukan konsultasi publik dan komunikasi intensif ketika memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasília, menunjukkan bahwa dalam proyek besar seperti ini, keterlibatan publik harus menjadi prioritas.
Namun, Achmad menyampaikan, Indonesia gagal menerapkan praktik serupa. Tidak ada upaya nyata untuk memberikan ruang bagi rakyat untuk secara langsung menentukan apakah mereka mendukung atau menolak pemindahan ibu kota.
"Hal ini menunjukkan bahwa keputusan ini lebih bersifat top-down dan tidak melibatkan masyarakat secara luas dalam proses pengambilan keputusannya," paparnya.
Kemudian bukti kedua yaitu judicial review dan penolakan dari kalangan akademisi.