Masih Ada Penolakan dari Asosiasi & Pelaku Usaha terkait Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
Protes dan penolakan masih bergulir dari sejumlah asosiasi usaha, yang mengindikasikan belum diakomodirnya usulan pelaku usaha industri tembakau.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut tengah berdiskusi dengan para pelaku usaha perihal polemik kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Permenkes sebagai turunan PP Nomor 28 Tahun 2024.
Namun protes dan penolakan masih bergulir dari sejumlah asosiasi usaha, yang mengindikasikan belum diakomodirnya usulan pelaku usaha.
Baca juga: RPMK tentang Tembakau Terus Dipertanyakan, Pemangku Kepentingan Tidak Dilibatkan?
Sejauh ini juga belum ada jadwal resmi yang diumumkan Kemenkes untuk sesi dengar pendapat publik lanjutan dalam rangka menanggapi masukan-masukan yang disampaikan berbagai pihak.
Sebelumnya, sejumlah asosiasi pelaku usaha, industri, petani hingga peritel memprotes wacana standardisasi kemasan rokok polos yang dimuat dalam Rancangan Permenkes.
Misalnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mengingatkan pemerintah terkait pasal-pasal bermasalah dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes.
Kedua aturan ini dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor seperti ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT).
Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani menyebut standardisasi kemasan, ketentuan zonasi penjualan, hingga iklan bisa menghantam keberlangsungan industri, pelaku usaha kecil, serta konsumen.
"Kita sudah melakukan berbagai koordinasi dan kajian, di mana sebenarnya aturan-aturan ini cukup memberatkan bagi multi sektor, baik industri, pedagang, petani, dan sebetulnya juga konsumen. Dalam hal ini tentu kita diminta untuk secara aktif memberi masukan dalam konteks dikeluarkannya peraturan menteri turunannya," kata Franky, Jumat (27/9/2024).
Baca juga: Praktisi Kesehatan: Kemasan Polos pada Produk Tembakau Bakal Membingungkan Publik
Menurutnya, masalah besar dari aturan tersebut karena dalam proses pembuatan sampai dengan isinya tidak mewakili para pihak yang terdampak.
Di mana dalam merumuskan PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes, pemerintah tidak melibatkan industri, baik pembina industri maupun pelaku industri itu sendiri.
"Kondisi industri saat ini dalam kondisi terkontraksi, akibat penurunan permintaan pasar baik global maupun lokal. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait," ucapnya.
Untuk itu, Apindo mendesak pemerintah agar proses penyusunan dan pelaksanaan dua aturan itu lebih terbuka dan melibatkan seluruh pihak terdampak secara komprehensif, agar ada keberimbangan.
"Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi ini harus disusun dan diterapkan secara adil dan berimbang, mengingat perkembangan perekonomian terkini serta kompleksitas posisi industri hasil tembakau dalam menopang ekonomi nasional," tegas dia.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan khawatir akan dampak kebijakan yang terlalu ketat dari Kemenkes.
"Rokok ilegal akan semakin menjamur jika regulasi yang diterapkan justru menekan industri formal. Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," kata dia.
Henry menilai, regulasi menyeragamkan kemasan rokok polos merugikan dan memperlakukan industri tembakau seolah-olah seperti produsen narkotika.
"PP 28/2024, yang mengatur desain dan tulisan pada kemasan rokok terlalu ketat dan merugikan. RPMK yang muncul mendadak ini sangat represif, dengan desain seragam," ucap Henry.