Cukai Rokok Tak Naik, Ekonom: Buka Ruang bagi Industri Tembakau Berkontribusi ke Penerimaan Negara
Ia mengatakan, kenaikan cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, justru berdampak negatif.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang Prof. Chandra Fajri Ananda menilai keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025 bagi industri tembakau sudah tepat.
Prof. Chandra mengungkapkan bahwa kenaikan cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan negara dari CHT.
"Dengan pendekatan Kurva Laffer, kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas. Dengan kata lain, jika tarif cukai terus mengalami kenaikan, maka penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan," ujar Chandra melalui keterangan tertulis, Selasa (8/10/2024).
Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di industri tembakau, termasuk pada rantai pasok dan distribusi.
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ini menghimbau bahwa tidak adanya kenaikan CHT pada 2025 jangan sampai diikuti oleh kenaikan tarif cukai yang drastis pada 2026.
"Kenaikan tarif cukai (hasil tembakau) di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat," katanya.
Prof. Chandra juga menggarisbawahi pentingnya percepatan pengesahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pelaksanaan keputusan pemerintah yang sudah disepakati dalam UU APBN 2025 mengenai tidak adanya kenaikan CHT.
"PMK diharapkan dapat diterbitkan (segera) untuk untuk dasar pelaksanaan dan kepastian berusaha," ucapnya.
Di sisi lain, adanya rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang menimbulkan polemik dan mendapatkan penolakan dari berbagai pihak di industri tembakau juga menjadi sorotan Prof. Chandra.
Ia menyatakan bahwa kebijakan ini bisa berdampak negatif bagi industri rokok legal dan sektor terkait lainnya.
"Kemasan (rokok polos) tanpa merek dapat mengurangi daya saing produk dan menghilangkan identitas visual," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa tanpa identitas merek yang jelas, konsumen akan lebih sulit membedakan antara produk legal dan ilegal, yang dapat merugikan produsen resmi serta mengancam penerimaan negara.
"Kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, yang juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK),” pungkas Prof. Chandra.