Setelah Indonesia, Uni Eropa Jegal Perilisan Aplikasi Temu Asal Tiongkok
Kemunculan platform e-commerce asal Tiongkok, Temu di pasar global belakangan memicu kekhawatiran para pedagang lokal dari penjuru dunia
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, BRUSSEL - Kemunculan platform e-commerce asal Tiongkok, Temu di pasar global belakangan memicu kekhawatiran para pedagang lokal dari penjuru dunia, termasuk negara-negara di Eropa hingga memaksa Komisi Eropa ikut turun tangan.
Aplikasi Temu sendiri telah lama populer di Eropa sejak memasuki pasar benua itu pada tahun 2023, Temu mengatakan awal tahun ini pihaknya memiliki rata-rata sekitar 75 juta pengguna aktif bulanan di blok tersebut.
Namun kemunculan Temu justru meresahkan negara-negara di Eropa. Selain konsep bisnisnya yang merugikan UMKM lokal, Komisi Eropa mengungkap bahwa pihaknya mencurigai aplikasi asal Tiongkok itu, terkait adanya dugaan untuk menjual barang-barang ilegal.
Baca juga: Menkominfo Budi Arie Ngaku Telah Minta AppStore dan Playstore Hapus Aplikasi TEMU
Di bawah regulasi Digital Services Act (DSA) yang berlaku di Eropa, Temu diminta membeberkan data dan informasi terkait aksi untuk membatasi risiko terkait perlindungan konsumen hingga kesehatan mental dan fisik pengguna.
Komisi Eropa, serta lembaga pengawas digital Uni Eropa juga menuntut Temu menjelaskan tindakan perusahan yang tidak mengambil tindakan ketika para pedagang muncul platform tersebut dengan menjual produk ilegal.
Mengutip dari France24, Aplikasi Temu diberi tenggat hingga 21 Oktober mendatang untuk memberikan berbagai informasi yang diminta Komisi Eropa.
Baca juga: Menkominfo Budi Arie Blokir Aplikasi TEMU: Tidak Terdaftar Sebagai PSE di Indonesia
Apabila selama tenggat waktu tersebut Temu tak kunjung memberikan informasi yang diminta, Komisi Eropa mengancam bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum yang berujung pengenaan denda jika pelanggaran benar terbukti adanya.
Sebelum tuntutan dilayangkan, pada Mei lalu, pengguna Temu di Eropa mengajukan keluhan kepada Komisi Eropa. Mereka menduga Temu menggunakan teknik manipulatif untuk membuat pengguna belanja terus-terusan, serta melakukan pelanggaran lain.
Alasan ini yang mendorong enam negara yang tergabung dalam Uni Eropa, yakni Austria, Denmark, Perancis, Jerman, Belanda, dan Polandia, meminta Brussel untuk memperketat supervisi terhadap Temu.
Baca juga: Asosiasi E-commerce Siap Bersaing dengan Temu Bila Hadir di Indonesia
Indonesia Jegal Aplikasi Temu
Sebelum Uni Eropa memberlakukan pengetatan kepada Temu, pemerintah Indonesia telah lebih dulu menentang kehadiran aplikasi buatan Tiongkok ini. Tak tanggung-tanggung untuk menjegal keberadaan Temu pemerintah Indonesia meminta Google dan Apple untuk memblokir perusahaan e-commerce mode cepat asal China itu.
Langkah ini diambil agar masyarakat tidak dapat mengunduh aplikasi Temu, hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi usaha kecil dan menengah di Indonesia dari produk murah yang ditawarkan Temu milik PDD Holdings.
Tak sampai disitu, Pemerintah juga tak segan untuk memblokir investasi apa pun yang dilakukan Temu dalam e-commerce lokal jika perusahaan itu terbukti melakukan tindakan seperti itu, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Kehadiran Temu belakangan menjadi sorotan, lantaran aplikasi berbelanja ini memiliki model bisnis berbiaya rendahnya dalam mengirim paket dari China ke pelanggan di beberapa negara.
Model bisnis Temu sangat berbahaya bagi pelaku UMKM dalam negeri karena Temu menghubungkan konsumen secara langsung dengan pabrik-pabrik di China untuk mengurangi harga secara signifikan adalah persaingan yang tidak sehat.
"PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) untuk Temu tidak akan diberikan, begitu juga jika ada aplikasi serupa yang mencoba masuk," kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi.
Selain Temu, pemerintah juga tengah melobi Apple dan Google terkait pemblokiran serupa untuk layanan belanja asal China, Shein. Hingga saat ini Temu, Shein, Apple, dan Google tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Namun dengan cara ini pemerintah meyakini upaya pemblokiran tersebut dapat melindungi ekosistem UMKM di Indonesia dari persaingan tidak sehat dengan perusahaan luar negeri.