Tak Terima Disebut Muat Rokok Ilegal, Sopir Truk Asal Pamekasan Madura Minta Ganti Rugi ke Bea Cukai
Truk asal Pamekasan, Madura, tersebut diberhentikan sang petugas di salah satu ruas jalan tol lantaran diduga mengangkut rokok ilegal.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Diduga petugs Bea Cukai berpakaian preman berdebat dengan pengemudi truk sarat muatan dan memaksanya agar membuka tutup terpal untuk mengetahui isi muatan truk tersebut.
Truk jenis Colt Diesel asal Pamekasan, Madura, tersebut diberhentikan sang petugas di salah satu ruas jalan tol.
Pria berpakaian preman yang diduga adalah petugas Bea dan Cukai tersebut mencurigai truk tersebut mengangkut rokok ilegal, barang yang saat ini sedang diperangi oleh Bea Cukai karena marak sejak harga-harga rokok bercukai resmi naik.
Seperti video viral di media sosial, saat sang petugas memaksa agar sopir truk membuka isi muatan, sang pengemudi truk juga bersikukuh menyatakan truknya tidak mengangkut rokok ilegal.
Dia kemudianmenunjukkan salinan surat jalan warna merah yang dia dapatkan dari pemilik barang.
"Dikira rokok gaesss sama Bea Cukai. Ini suratnya. Saya juga dokumentasi ini sama bos," kata sang sopir truk saat merekam kejadian ini menggunakan ponselnya.
"Dikira rokok ini bos, barangnya bos sama Bea Cukai," teriak sang sopir lagi.
Sopir Truk Minta Ganti Rugi
Sang pengemudi truk tetap ngotot tidak mau membuka isi muatan. Dia bersedia membuka isi muatan jika sang petugas Bea Cukai yang memaksanya membuka isi muatan bersedia memberi ganti rugi.
"Iya nggak apa-apa (kalau terpal ini harus dibuka). Berapa sampean? Kalau ini (muatannya) rokok, sampean yang untung, tapi kalau ini bukan rokok, saya yang rugi."
"Ok Siap. Asal ada uang gantinya, saya buka selebar-lebarnya (terpalnya)." kata sang sopir kepada sang petugas.
Menurut sang sopir truk tersebut mengangkut logam.
Tarif Cukai Naik Bikin Rokok Ilegal Marak
Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui peredaran rokok ilegal berjalan lurus dengan kenaikan tarif cukai tembakau.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Haryanto mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok akan berkolerasi positif terhadap peredaran rokok ilegal di Tanah Air.
Menurutnya, dampak pandemi menyebabkan daya beli masyarakat melemah sementara disparitas harga antara rokok legal dan ilegal semakin jauh.
Beban pungutan negara atas rokok legal yang tinggi menyebabkan pelaku peredaran rokok ilegal kian marak.
"Saat ini, disparitas antara rokok ilegal legal itu mencapai 68 persen. Kalau tadinya sebelum PPN naik itu sekitar 62 perseb tetapi begitu PPN naik dari 9,1 persen menjadi 9,9 persen itu menjadi 68 persen," katanya, Selasa (8/11/2022).
Ia mengungkapkan bahwa rokok ilegal adalah rokok yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun impor yang tidak mengikuti aturan yang berlaku di wilayah hukum Indonesia.
Ciri-ciri Rokok Ilegal
Ciri-ciri rokok ilegal antara lain, tidak dilekati dengan pita cukai (rokok polos), dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas.
Lebih lanjut, Nirwala menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penjualan rokok ilegal adalah dengan memberikan sanksi administratif dan pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai.
Baca juga: Para Pengusaha Rokok Desak Pamerintah Segera Berantas Peredaran Rokok Ilegal
Sanksi untuk pelaku pelanggaran pidana terkait peredaran rokok ilegal adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh kali lipat dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Bea Cukai terus meningkatkan pengawasan peredaran rokok ilegal melalui operasi "Gempur Rokok Ilegal".
Berdasarkan catatan Bea Cukai, Operasi Gempur Rokok Ilegal pada periode 2018 - 2022 terus mengalami peningkatan jumlah penindakan, sedangkan jumlah barang hasil penindakan (BPH) cenderung menurun setiap tahunnya.
"Tahun 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp662 miliar. Di tahun 2021 jumlah penindakan naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara mencapai Rp293 miliar."
"Sedangkan di tahun 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara mencapai Rp 407 miliar," terang Nirwala.