Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

AMTI Sebut Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Picu Pengurangan Tenaga Kerja

Naiknya PPN dinilai akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN atas penyerahan rokok yang juga naik menjadi 10,7 persen dari yang sebelumnya 9,9 persen.

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in AMTI Sebut Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Picu Pengurangan Tenaga Kerja
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Petani menyortir tembakau di Gudang Tembakau Empatlima, Klaten, Jawa Tengah. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 dikhawatirkan memicu pengurangan tenaga kerja, termasuk petani di industri hasil tembakau (IHT).

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Ekosistem Tembakau Indonesia, Hananto Wibisono mengatakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen pasti akan berdampak pada biaya produksi.

Peningkatan biaya sangat berpotensi besar memicu kenaikan harga produk akhir, sebab PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya bahan baku yang dibeli oleh produsen.

"Selain bahan baku, semua proses produksi juga akan terkena dampak dari kenaikan PPN, termasuk biaya operasional seperti energi, transportasi, dan lainnya,” kata Hananto dalam keterangannya, Rabu (4/12/2024).

Baca juga: Airlangga Akan Umumkan Kejelasan PPN 12 Persen Pekan Depan 

Naiknya PPN dinilai akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN atas penyerahan rokok yang juga naik menjadi 10,7 persen dari yang sebelumnya 9,9 persen.

Jika dibiarkan, orang pun berpotensi beralih menggunakan rokok ilegal yang semakin mengancam situasi buruh, petani, serta semua yang terlibat dalam IHT dengan adanya bayang-bayang perpindahan konsumsi yang tergambar dalam penurunan daya beli terhadap produk legal. 

Berita Rekomendasi

“Produsen berpotensi menaikkan harga jual produknya, meskipun ini berisiko terhadap serapan pasar. Jika harga jual naik, permintaan berpotensi menurun yang berpengaruh pada penjualan dan laba perusahaan. Jika penurunan permintaan dan keuntungan signifikan, produsen terpaksa mengambil langkah ekstrem seperti PHK untuk mengurangi biaya operasional,” ujarnya. 

Rugikan Negara

Berdasarkan hasil survei terbaru yang dirilis Indodata, angka peredaran rokok ilegal di Indonesia pada 2024 mencapai 46,95 persen dan menimbulkan dampak kerugian negara yang jumlahnya mencapai Rp97,81 triliun. Padahal, proyeksi kerugian negara pada 2022 lalu jumlahnya ‘hanya’ sekitar Rp53 triliun.

Kementerian Keuangan juga pernah mencatatkan kerugian negara yang cukup besar akibat rokok ilegal, mencapai Rp13,48 triliun pada 2021.

“Besar sekali kerugian negara akibat rokok ilegal. Padahal, negara butuh sumber daya untuk melakukan pembangunan. Permasalahan rokok ilegal bukan sekadar pendapatan negara, tapi ada faktor lainnya, ada buruh, petani, dan lain-lain,” ujar Direktur Eksekutif Indodata, Danis T.S Wahidin saat merilis hasil survei (18/11).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas